Mohon tunggu...
Rudi Mulyatiningsih
Rudi Mulyatiningsih Mohon Tunggu... -

Guru BK , Training Motivator,

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menguatkan Imunitas Psikologis Pasca Bencana

5 Oktober 2013   11:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:58 1342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Menguatkan Imunitas Psikologis Pasca Bencana

Oleh. Dra. Rudi Mulyatiningsih, M.Pd

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Di Indonesia, bencana dapat terjadikapan saja dikarenakan Indonesia termasuk negara yang rawan bencana. Hal ini ditandai adanya cincin api atau ring of fire yang melingkupi Indonesia, yang menunjuk pada posisi melingkar rangkaian gunung berapi yang membentang dari Sumatera hingga kebagian timur, yakni Nusa Tenggara Timur dan Maluku. Indonesia juga berdiri di atas pertemuan lempeng-lempeng tektonik, sehingga negeri ini berada di atas jalur gempa. Iklim yang tropis dengan curah hujan yang cukup tinggi juga menyebabkan banyak tanah tidak stabil, memudahkan terjadi pelapukan, tanah longsor, dan banjir.

Telah nyata terjadi serangkaian bencana melanda Indonesia. Gempa bumi tektonik berkekuatan 8,5 SR berpusat di Samudra India yang disertai gelombang pasang (Tsunami) dan menyapu beberapa wilayah lepas pantai di Indonesia (Aceh dan Sumatera Utara), stunami di Pangandaran, meletusnya Gunung Merapi di Jawa tengah, tanah lonsor dan banjir di berbagai wilayah.Peristiwa tersebut sungguh menyisakan kondisi yang sangat memilukan. Korban bencana tidak hanya kehilangan harta benda, menderita luka fisik, dan kehilangan orang-orang tercinta, tetapi juga mengalami gangguan psikologis.

Berbagai pihak, termasuk pemerintah telah menunjukkan kepedulianyang tinggi terutama dalam bentuk rehabilitasi dan rekonstruksi pelayanan kesehatan, pendidikan, keamanan dan ketertiban, perumahan,pembangunan prasarana dan sarana umum, fungsi pemerintah dan pelayanan publik, sosial ekonomi, dan budaya.

Namun persoalan yang dihadapi korban bencana bukan melulu hal tersebut. Ada hal lain yang masih terabaikan dari prioritas rehabilitasi dan sangat dibutuhkan para korban bencana yaitu rehabilitasi psikologis. Suatu upaya untuk meningkatkan imunitas psikologis. Yaitu kekebalan dalam diri korban bencana untuk tetap dapat bertahan pada tempat terjadinya bencana dan tetap bertahan hidup.

Korban bencana yang tidak memiliki imunitas psikologis menunjukkan perilaku antara lain menangis terus menerus, merintih memanggil orang sudah meninggal karena bencana, duduk menyendiri dengan tatapan hampa, ketakutan, dan tak memiliki nafsu makan. Bisa dibayangkan , apa yang akan terjadi jika merekadibiarkan dan tidak ada yang peduli. Tentu bantuan makanan dan obat-obatan yang melimpah ruah, pembangunan rumah, pendidikan , dan kesehatan menjadi kurang bermanfaat. Banyak makanan tersedia tetapi mereka tidak ingin makan, diberi modal tapi enggan berusaha, dibangun sekolah tapi tidak ada yang berminat, diberi obat tetapi tetap sakit, dibangunkan rumah juga tidak merasa bahagia.

Oleh karena itu mengembalikan kondisi mental yang porak poranda akibat bencana, penting dilakukan beriringan dengan rehabilitasi fisik dan sarana prasarana agar mereka dapat kembali menjalani kehidupansehari-hari dengan efektif. Hal ini sejalan dengan peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana, yang menyatakan bahwa salah satu aspek penting rehabilitasi adalah masalah sosial psikologi yang dihadapi korban bencana.

Pada kesempatan ini penulis akan mendiskusikanide kreatif dan inovatif untuk membantu merehabilitasi aspek psikologis korban bencana melalui layanan bimbingan dan konseling.

Pelayanan Konseling Traumatis

Pengalaman traumatis terjadi ketika seseorang mengalami atau menyaksikan suatu ancaman yang mengancam dirinya dan merespon dengan rasa takut dan rasa tidak berdaya (Forgash & Knipe, 2008; Carll, 2007). Peristiwa atau kejadian yang menekan di luar pengalaman manusia, seperti perkosaan, bencana alam, kecelakaan, kekerasan seksual, perang atau penyiksaan (Barabaz et al, 2011; Carll, 2007).

Carll (2007) menambahkan peristiwa trauma dapat menyebabkan seseorang mengalami gangguan stress pasca trauma (Post Traumatic Stress Disorder / PTSD) meliputi perasaan takut yang berlebihan, tidak berdaya dan cemas. Gejala utama bagi orang yang mengalami PTSD adalah seolah-olah orang tersebut mengalami dan merasakan kembali pengalaman yang membuat trauma (seperti mimpi buruk, pikiran yang terus menganggu, dan selalu teringat kejadian trauma); melakukan penghindaran terhadap semua hal yang mengingatkannya terhadap kejadian (mengindari pikiran, orang, aktivitas dan segala hal yang berkaitan dengan kejadian trauma); sulit untuk konsentrasi, sulit tidur dan amarah yang meledak-ledak (Herman, 1992; Forgash & Knipe, 2008; Carll, 2007).

Orang yang mengalami trauma cenderung melakukan penghindaran, cemas yang tinggi, depresi, selalu teringat kejadian yang menyakitkan, rasa waspada yang berlebihan dan mati rasa emosi (Litz, 1992).

Gejala tersebut dapat munculpada aspek fisik, emosi, perilaku, dan spiritual.Simptom yang muncul pada aspek fisik di antaranya adalah kelelahan, suhu badan meninggi, menggigil, badan lesu, mual-mual, pening, sesak napas,  dan panic.Pada aspek emosi dapat muncul simptom kehilangan gairah hidup, ketakutan, dikendalikan emosi, dan merasa rendah diri. Syomton yang muncul pada aspek mental antara lain kebingungan,  ketidakmampuan menyelesaikan masalah, tidak dapat berkonsentrasi, dan tidak mampu mengingat dengan baik. Aspek perilaku ditunjukkan dengan sulit tidur, kehilangan selera makan, makan berlebihan, banyak merokok, menghindar, sering menangis, tidak mampu berbicara, tidak bergerak, gelisah, terlalu banyak gerak, mudah marah, ingin bunuh diri, menggerakkan anggota tubuh secara berulang-ulang, rasa malu berlebihan, mengurung diri, dan menyalahkan orang lain. Sedangkan pada aspek spiritual, seseorang akan mengalami gejala-gejala putus asa,  hilang harapan, menyalahkan Tuhan, berhenti ibadah, tidak berdaya, dan meragukan keyakinan.

Dari gambaran di atas, sungguh, mereka sangat membutuhkan sentuhan psikologis untuk mengembalikan kondisi mental mereka yang penuh pengalaman-pengalaman traumatis, sehingga terbentuk imunitas psikologis terhadap trauma pasca bencana. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan pelayanan konseling traumatis.

Misi utama pelayanan konseling traumatis adalah membantu memulihkan kondisi psikologis dan sosioemosional korban bencana agar dapat kembali memiliki kehidupan yang efektif. Layanan konseling traumatis membantu individu korban bencana dalam mengambil keputusan-keputusan secara tepat terhadap problem psikologis yang dihadapinya dan bertindak atas pilihan-pilihannya,  sekaligus  dalam rangka menjalankan fungsi konseling itu dalam  dimensi kuratif  (penyembuhan),  supportif  (dorongan), semangat, penyejuk suasana, penetralisir, reeducatif,  maupun preventif (dalam arti agar masalahnya tidak meluas dan mendalam, sehingga semakin berat dan kompleks). Fokus konseling traumatik lebih memperhatikan pada satu masalah yaitu trauma yang terjadi dan di rasakan sekarang.

Sasaran konseling traumatis adalah: (1) para pelajar agar dapat menjalani proses pembelajaran secara normal kembali, (2) para guru sehingga terbebas dari gangguan akibat bencana dan dapat menyelenggarakan  proses pembelajaran secara normal kembali,dan (3) orangtua atau warga masyarakat agar dapat segera menjalani kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat pada umumnya.

Pelaksanaan pelayanan konseling traumatis dapat dilakukan dengan berbagai layanan bimbingan dan konseling. Kegiatan konseling traumatis terhadap sasaran peserta didik dapat dilakukan dalam bentukterapi permainan,konseling kelompok, konseling individual, dan layanan informasi. Sedangkan konseling traumatis terhadap para orang tua atau warga masyarakat yang memerlukan dapat dilakukan dalam bentukkonseling kelompok, konseling individual, layanan informasi dalam keluarga atau masyarakat.

Teknik permainan cukup efektif dilakukan untuk kelompok anak. Nandang Rusmana dkk (2007) telah melakukan pengembangan model konseling pasca trauma melalui terapi permainan kelompok berbasis permainan tradisional dan teruji signifikan dalam menurunkan kecemasan (PTSD) anak dengan pengalaman traumatis di Tasikmalaya. Menurut hasil pengembangan model tersebut, beberapa jenis permainan yang efektif untuk mengurangi trauma adalah kucing tikus, bebentengan, ecor, gatrik, dan lain-lain. Sisi positif menggunakan permainan adalah menumbuhkan keceriaan, dan mengembalikan kebutuhan bersosialisasi.

Konseling kelompok dilakukan untuk membahas masalah yang dihadapi anggota kelompok(pelajar , orang tua, masyarakat korban bencana) melalui dinamika kelompok ( 5 sampai 8 orang). Pemecahan masalah dilakukan dengan diskusi, tanya jawab, bertukar pengalaman, membantu mencarisolusi, danmenunjukkanempati. Dengan demikian,para korban bencana dapat merasakan pentingnya bersosialisasidan merasa dibutuhkan dan membutuhkan orang lain. Harapannya, mereka tidak akan menyendiri lagi, dapat menerima kenyataan, dan tumbuh keyakinan dalam diri bahwa setelah ditinggal orang tercinta masih ada orang lain yang peduli dan membutuhkan keberadaannya.

Bagaimana dengan pelaksanaan konseling individual? Konseling individual dilakukan secara face to face antara korban bencana dengan konselor dengan tujuan mengentaskan masalah pribadi yang berkaitan dengan kejadian traumatis yang sedang dialami. Dalam proses konseling individual, konselor dapat menggunakan teknik konseling relaksasi. Yaitu menolong klien untuk mengidentifikasi pemicu reaksi-reaksi trauma dan mengajari bagaimana mengendalikannya. Carayang bisa dilakukan adalah dengan mengajari klien relaksasi, menarik nafas dalam-dalam dengan diikuti self-talk.

Untuk pelaksanaan layanan informasi dapat dilakukan secara langsung maupun melalui media papan bimbingan. Informasi yang diberikan adalah yang berkaitan dengan tips hidup efektif pasca bencana.

Ketika melaksanakan semua kegiatan di atas, konselor perlu berpedoman pada panduan pelaksanaan konseling traumatis. Wright (1985) mengajukan delapan langkah dasar yang harus diikuti dalam menolong seseorang yang sedang menghadapi traumatis, yaitu: (1) Intervensi langsung, dengan memberikan pertolongan secepatnya melalui dorongan semangat, dengan maksud untuk  mengurangi kegelisahan, rasa bersalah, dan ketegangan serta untuk memberikan dukungan emosi, (2) mengambil tindakan, yaitu dengan menggerakkan agar segera mungkin berperilaku yang positif, sambil menemukan berbagai informasi yang dibutuhkan tentang permasalahan yang dihadapi, (3) Mencegah suatu kehancuran (keterpurukan hidup)dan berupaya  memulihkan  melalui sasaran-sasaran jangka pendek dan terbatas., (4) Membangun  harapan dan  kemungkinan  masa  depan yang  positif dan tidak memberikan harapan palsu, (5) memberikan dukunganmelalui komunikasi dan doa, (6) Pemecahan  masalah yang terfokus, dengan membantu merencanakan dan melaksanakan cara-cara untuk menyelesaikan  satu masalah., (7) Membangun  harga  diri, dengan memberi harapan-harapan positif kepada klien dan membantu pemecahannya secara bersama-sama, dan (8) Menanamkan  rasa  percaya diri, yaitu dengan mencegah rasa ketergantungan konseli kepada konselor ( Dalam Sunardi, 2006).

Agar pelaksanaan pelayanan konseling traumatis bagi korban bencana dapat berjalan eektif, maka perlu dilakukanassement, plan, prepare, lead, evaluasi (APPLE). Assesment dilakukan untuk mengetahui tentang siapa yang membutuhkan konseling traumatis dan masalah psikologis yang dihadapi. Langkah ini perlu dilakukan agar konseling berjalan efektif dan tepat sasaran, yaitu bagi mereka yang dibayangi peristiwa traumatis, berpikir negatif, merasa tidak berdaya, emosional mengisolasi diri, dan merasa harapan masa depan rendah, dan gejala perilaku lainnya yang menunjukkan trauma. Assesment dapat dilakukan dengan wawancara, observasi, atau angket.

Plan (perencanaan) yang perlu dilakukan adalah menyusun satuan layanan yang berisi topik, tujuan, jenis layanan, uraian kegiatan yang akan dilakukan, tempat pelaksanaan, dan evaluasi hasil. Satuan layanan perlu disusun sebagai pedoman pelaksanaan.

Prepare adalah mempersiapkan segala sesuatu untuk terlaksananya layanan konseling traumatis. Persiapan yang dilakukan adalah tempat, alat, media, dan hal lain yang dibutuhkan untuk terselenggaranya konseling traumatis.

Lead merupakan bentuk kegiatan nyata yang mana dalam hal ini konselor sebagai pemimpin kegiatan, baik pada permainan,layanan konseling kelompok, konseling individual, layanan informasi, dan terapi relaksasi untuk pelajar dan masyarakat.

Evaluasi dilakukan untuk mengetahui keberhasilanlayanan konseling traumatis yang sudah dilaksanakan. Aspek yang dievaluasi meliputi hasil yang diperoleh oleh pelajar dan orang tua setelah mengikuti konseling traumatis, meliputi kemajuan dalam pengetahuan, perasaan, dan tindakan menghadapi kehidupan pasca bencana.

Dari semua kegiatan pelayanan konseling traumatis di atas diharapkan para korban bencana kembali memiliki energi psikologis yang lebih baru yang sangat berguna untuk membangun rasa percaya diri, keberanian dan eksploitasi diri untuk memasuki kembali kehidupan baru pasca bencana. Jika energi psikhis tersebut terus berkembang semakin kuat, maka dapatmembangun imunitas psikologis sehingga mereka menjadi kebal dalam menghadapi derita maupun kenestapaan lain yang timbul karena bencana. Imunitas psikologis yang terbangun itulah yang nantinya akan membawa hidup mereka pada kehidupan efektif sehari-hari meskipun mereka berada di dalam situasi alam yang sama seperti sebelum bencana melanda.

Lalu siapa yang menyelenggarkan konseling traumatis bagi korban bencana? Banyak tenaga profesional yang dapat melakukannya, yaitu guru Bimbingan dan Konseling (BK)yang tergabung dalam Musyawarah Guru Bimbingan dan Konseling (MGBK), dosen program studi BK, sarjana BK, bahkan mahasiswa jurusan BK pun dapat berperan serta. Tenaga profesional tersebut hampir tersedia di seluruh wilayah Indonesia sehingga rehabilitasi psikologis dengan konseling traumatis untuk korban bencana di manapun, dapat dan  dilaksanakan.

Agar konseling traumatis tersebut dapat berjalan lancar, kiranya perlu ada koordinasi antara tenaga pelaksana, masyarakat, dan pemerintah di lokasi bencana.

Akhirnya, melalui tulisan ini saya mengajak semua pihak untuk bergandengan tangan dan berjalan beriringan,meningkatkan kepedulian kepada para korban bencana.

Rudi Mulyatiningsih, M.Pd

Guru Bimbingan dan Konseling

Dan Kepala SMP Negeri 3 Karangreja

Purbalingga, Jawa Tengah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun