Pagi masih masih setengah terang untuk melihat, matahahari masih enggan untuk datang, sedang embun telah panik bergerak menuruni daun-daun untuk bersembunyi dari sinar matahari. Perjalanan jauh akan ditempuh hari ini untuk mengejar jejak manusia Sulawesi purba yang telah duluan bermigrasi dari daerah rendah Sulawesi menuju ke Toraja dan sebagian ke daerah kaki gunung Latimojong. Konon daerah yang sekarang adalah gunung di Toraja, dulunya adalah hamparan pantai yang ditemui oleh nenek monyang manusia Sulawesi. Itulah mengapa atap rumah adat Tongkonandi Toraja menyerupai perahu. Tapi, kali ini perjalan saya bukan menuju Toraja, tapi daerah 'saudara kembar' Toraja yaitu Enrekang. Daerah yang bertetangga dan  yang juga menyimpan banyak kebudayaan yang mirip dengan Toraja, baik dari bahasa, wajah, dan peninggalan sejarah berupa kuburan Mandu. Walaupun hampir sama, kedua kabupaten ini memiliki perbedaan yang paling mencolok dalam hal agama. Di Enrekang masyarakat mayoritas Islam, dan di Toraja mayoritas beragama Kristen.
Waktu pagi adalah keadaaan paling tepat untuk memulai perjalanan Makassar menuju Enrekang yang berjarak hampir 200 KM dengan melalui beberapa kabupaten seperti Maros, Pangkep (Pangkajene dan Kepulauan), Barru, Kota Pare-Pare, dan Sidrap (Sidendreng Rappang). Perjalan dengan menggunakan sepeda motor memakan waktu sekitar empat jam dan untuk mencapai desa Dea Kaju membutuhkan waktu sejam lagi. Sepanjang perjalanan, saya ditemani hamparan keindahan yang ditawarkan setiap kabupaten yang dilalui, di Kabupaten Maros ada hutan batu dan Rammang-Rammang, di kabupaten Pangkep ada kali bersih dan  hamparan empang serta persawahan sampai kabupaten Barru. Memasuki kota Pare-Pare  akan disambut Tonrangeng River dan di tengah kota ada tugu 'cinta Habibie-Ainun'.
Seluruh perlengkapan harus dipersiapkan dengan matang, selain fisik yang prima beberapa alat penunjang juga harus diperhatikan seperti mengisi penuh tangki motor, jaket, kaos tangan, dan balsem geliga krim sebagai pelengkap agar diperjalan badan selalu terasa hangat dan fit.Â
Butuh waktu empat jam untuk sampai di Buntu Kabobong, kabupaten Enrekang. sebuah gunung yang memiliki bentuk 'khas' yang belum ada samanya di dunia ini. Belum sah seseorang yang ke Enrekang dan tidak singgah di Buntu Kabobong. Ditempat ini adalah check point kondisi motor dan bahan bakar, apakah masih cukup untuk melanjutkan perjalanan. Lagi balsem Galiga krim saya usapkan ke bagian betis, tangan, leher, dan pinggang untuk mempersiapkan perjalanan mendaki dan tikungan yang tidak ada putusnya, maklum daerah pegunungan. Perjalanan mulus dan beraspal akan berakhir di Kecamatan Baraka, kali ini kondisi motor harus dipastikan dengan baik, jalan menuju desa Dea Kaju sebagian besar belum diaspal/beton, batu-batu besar, dan terjal siap menunggu. Disamping itu perjalanan menuju Dea Kaju belum banyak rumah warga yang bisa ditemui.
Suasana dingin menusuk hingga tulang menyambut saya di Desa Dea Kaju tapi sangat terobati dengan hangat balsem Geliga Krim yang  bertahan lama. Beruntungnya masyarakat disini sangat ramah dan mengenal satu dan lainnya, kedatangan saya di desa tersebut langsung diketahui sebagai orang baru. Beberapa orang mendatangi saya dan bertanya tentang tujuan datang ke desanya.  Ketika menanyakan tentang 'kuburan Mandu' mereka akan segera menunjukkan, seluruh orang di desa ini mengetahuinya karena jika hari-hari besar kuburan mandu akan ramai dikunjungi masyarakat sekitar.
Dua perpaduan kuburan masa lalu yang tidak di temukan di Toraja ataupun di tempat lain. Kuburan di Dea Kaju menjadi saksi peninggalan sejarah masa lalu tentang perpindahan kepercayaan masyarakat Enrekang, dari kepercayaan Dinamismi dan Animisme menjadi masyarakat beragama Islam. Diperlukan waktu hampir sejam berjalan tanpa henti untuk mencapai kuburan Mandu, setelah sampai dengan sigap saya mengambil gambar yang dianggap penting untuk bahan publikasi wisata dan warisan budaya di Kabupaten Enrekang. Â
Medan kuburan yang berada di tebing gunung mengharuskan saya memanjat batu-batu besar untuk menggapai kuburan yang berada diatas. Tenaga hampir habis dan saya rasa sudah cukup untuk mengambil gambar. Sisa-sisa tenaga saya gunakan untuk melanjutkan perjalanan pulang dengan mendaki gunung untuk mencapai desa.
Efek panas balsem yang meresap dengan cepat dengan segera meringankan sakit pinggang. Â Dengan mengucapkan terimakasih kepada warga, saya bergegas pulang melanjutkan perjalanan balik menuju Makassar untuk menulis artikel tentang kuburan Mandu Dea Kaju. Sehari saya bisa pergi-pulang Makassar ke Enrekang tanpa pegal yang menyiksa dengan bantuan balsem Geliga Krim.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H