Mohon tunggu...
M Rudi Kurniawan
M Rudi Kurniawan Mohon Tunggu... Mahasiswa -

FEB UI'12 | Alumnus PP Al-Amin Mojokerto

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Apakah Anda Salah Mengucapkan Idul Fithri?

17 Juli 2015   05:19 Diperbarui: 17 Juli 2015   05:19 1469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Wahai Kaum muslimin dan muslimat, Semoga kalian semua dirahmati Allah! Ketahuilah, bahwa hari ini adalah hari idul fitri, hari yang penuh kebahagiaan, hari penuh ampunan, hari dihalalkannya makan dan diharamkannya berpuasa.” –penggalan pesan bilal setelah sholat ‘idul fithri-

Kemenangan telah datang, Idul Fithri telah tiba. Alunan kegembiraan mulai terdengar ke pelosok negeri entah melalui kentongan, bedug yang ditabuh ritmik, atau segala jenis pawai yang mengular di sepanjang jalan. Gema yang pasti terdengar adalah takbir-takbir kemenangan dari mulut ke mulut, rumah ke rumah, atau dari masjid ke masjid lainnya.

Riuh kemenangan itu kerap diiringi oleh tahniah (ucapan selamat) kepada muslim lainnya, ataupun permohonan maaf terhadap sesama manusia. Namun, rupanya ada saja yang datang menyalahkan ucapan selamat tersebut. Lantas bagaimana? Saya yang awam ini mencoba menelaah beberapa hal dari ungkapan selamat tersebut. Namun sebelumnya, akan lebih baik kalau kita berkenalan dulu dengan Idul Fithri.

Hari Raya Idul Fithri merupakan hari kemenangan setelah melakukan rangkaian ibadah di Bulan Ramadhan. Sepertihalnya berbuka setelah seharian berpuasa, Idul Fitri merupakan ajang berbuka setelah satu bulan mendekatkan diri dengan beribadah di bulan Ramadhan yang penuh berkah. Idul Fithri merupakah idhofah/frasa berbahasa arab yakni ‘id dan al-fithru. Id berasal dari kalimah aada – yauudu yang artinya kembali, sedangkan al-fithru dapat bermakna “makan untuk berbuka puasa” dan dapat bermakna “suci”.

Al-fithru yang bermakna berbuka puasa berasal dari kata ifthar, sighat mashdar dariafthoro-yufthiru. Dapat dimaknai demikian karena pada Hari Raya Idul Fithri umat muslim dipersilakan untuk makan. Juga, diharamkan untuk berpuasa sebagai pertanda kemenangan ibadah di bulan Ramadhan. Abu Said Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang puasa pada saat idul fitri dan hari berkurban.” (HR. Bukhari 1991, Ibn Majah 1721). Dengan ini, Idul Fithri dapat dimaknai sebagai hari kembali diperbolehkannya makan setelah sebulan penuh berpuasa.

Kemudian, al-fithru yang berarti “suci, bersih dari segala dosa dan kesalahan” berasal dari kata fathoro-yafthiru. Dalam sebuah hadits muttafaqun ‘alaih, Rasulullah SAW berkata “Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan didasari iman dan semata-mata karena mengharap ridho Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” Dengan demikian, orang yang telah beribadah dengan ikhlas pada bulan Ramadhan adalah orang yang kembali suci, orang yang telah diampuni dosa-dosanya. Melalui arti ini, Idul Fithri adalah hari kembalinya umat muslim dalam keadaan suci tanpa dosa.

Taqobballaahu minna wa minkum

Merupakan ucapan bermakna doa yakni “Semoga Allah menerima amal kami dan kalian.” Ucapan ini berdasar pada Hadits Nabi SAW bersanad hasan sebagaimana dituturkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani di dalam kitab Fat-hul Baari.

[Dari Jubair bin Nufair, ia berkata bahwa jika para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berjumpa dengan hari ‘ied (Idul Fithri atau Idul Adha, pen), satu sama lain saling mengucapkan, “Taqobbalallahu minna wa minka (Semoga Allah menerima amalku dan amal kalian).”]

Minal a’idzin wal faizin

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun