Mohon tunggu...
rudi kafil yamin
rudi kafil yamin Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa yang tak kunjung berkarya

Bergaya dengan karya

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Utarakan

13 Agustus 2020   23:04 Diperbarui: 13 Agustus 2020   23:08 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Harti

Aku merangkai kata dalam rentetan setiap huruf. Memilah-milah kata mana saja yang pantas kurangkai demi mengutarakan hal ini kepadamu.
Ini seharusnya menjadi isi surat yang terakhir kusampaikan kepadamu, namun kata berkata lain. Ia mencoba memisahkan makna hidupnya dari jemariku. 

Walau sesungguhnya, tak semua tanya mesti dijawab dan semua harap harus terpenuhi.
Kini aku berusaha secara perlahan melewati waktu yang kian waktu membunuhku. 

Bagian Surat Pertama

Setelah kau terhempas begitu jauh dalam hidupku
Jalan terlampau sudah berliku dan aku tak mungkin untuk menggerutu.
Segala hal yang bersumber darimu tersimpan rapi jauh dalam lubuk hatiku.

Aku kan berkata pada kata,
Kata...
Kata...
Katakanlah!

Apapun yang hendak tak terkatakan akan menjadi luka dan menggumpal menjadi lebam dalam dada. Entah itu perasaan antara cinta atau prasangka sepatah kata mestilah terucap. Lihat bagaiamana bunga dalam hatiku bersemi meski sesungguhnya tak pernah kau semai. 

Dengar bagaimana suara detak jantungku berdetak begitu cepat saat kau sedang menghampiriku. Hirup bagaimana aroma kasihku menyelimuti relung jiwamu. Hitung berapakali desir ombak menghantam telingamu dan Rasakan bagaimana kerinduanku selalu tertuju pada hatimu.

Sesungguhnya aku ingin kembali pulang. Merebahkan hati yang sudah berkarat juga harapan yang sudah sekarat.

Kadangkala aku tak ingin memberi arti pada hidup ini.

Namun kini kau terus memaksaku berlari dengan harapan yang sudah jelas tak pasti. 

Aku terkadang membiru melebihi warna langit sebab yang kudapati adalah keniscayaan demi keniscayaan. Yang tiada berarti dan tak memiliki arti. 

Langit dan laut, juga hal-hal yang tak pernah kita bicarakan adalah bagian semesta yang kita hiraukan. 

Dan beginilah akhirnya

Kau kawin

Sedangkan aku mengembara serupa Ahasveros

Air mata mengalir diantara relung pipi khairani setelah membaca surat dari Dirja. 

*terinspirasi dari puisi Chairil dan lagu Banda Neira

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun