Antara ode to the west wind Shelley kepada Penyair yang di ucap Gusmus dalam sajak nya, membuat kopi moca dari bean manglayang ini semakin pait rasanya, belum lagi sang barista yuyut berucap padaku "belajar lah kepada ombak di laut, dengan nya kau mengeri arti kehidupan" tambahnya ia menyajikan kopi ini dengan teknik ala vietnam drip, ini semakin membuat ku kalap dengan keadaan. Pasalnya aku tidak mengerti! Ketika skripsi tak kunjung reda ia memanggilku tanpa jeda, mungkin yut benar karena melihat kebiasaan ku meminum kopi dengan ala kadarnya, membuat ku lebih kurang menghargai pada kata proses (karna bagiku tubruk pun sama saja asal ia punya kadar manis dan asam bagiku itu sudah lebih dari cukup)
Namun rasanya bukan itu yang ingin di hadirkan, Tiba-tiba Peirce pun mengetuk pada hati ia berkata "barangkali memahami tanda, manusia jua mampu memaknai kehidupan" ah semakin rumit saja, sabtu akhir pekan harusnya menjadi hari-hari melegakan, tapi apa daya, skripsi masih ada ia tak memberiku jeda.Â
Barangkali aku harus belajar pada ombak di laut yang dengan begitu tenang dan jatuh pada saatnya seperti meminum kopi ala orang vietnam. Namun kini aku teringat puisi kepada sri begitupun aku kepada r, dalam bait nya ia berkata "sepi di luar. Sepi menekan-mendesak, pada lurus kaku di pepohonan" Tapi r, barangkali hidup adalah bagian dari cinta dan kegetiran. Di dalam cinta ada kesetian dan dusta, keduanya pun menjadi bagian dari kehidupan. Tapi tak lain tak mengapa begitulah hidup, Belum lagi dalam ode nya shelley mengatakan bahwa angin kini berada di dekatmu ia memandangmu sampai jauh kedalam ruang yang paling dalam.Â
Awan-awan pun menjadi lusuh, seperti bumi yang di kotori oleh dedaunan yang jatuh dari cabang pohon nya. Ia jatuh kedalam surga dan lautan yang menandakan kini badai segera tiba.
Bandung 29 juni 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H