- Narasi politik agama yang dibangun dengan susah payah kelompok fundamentalis. Â Berantakan seketika, Â saat calon presiden dukungan mereka Prabowo, Â 'memplesetkan' sholawat nabi Muhammad dengan kata Hulaihi-Hulaihi wasallam di acara Reuni 212.
Bagaiamana tidak hancur? Â Dalam moment yang disakralkan mereka peringatan reuni 212 pekan lalu. Prabowo dengan jelas tidak bisa bersholawat. Â Dihadapan ribuan massa, Â Prabowo tidak bisa menyebut Rosululloh Sallallaahu Alaihi Wasallam". Namun capres bernomer urut 02 ini, Â menyebut Rosululloh Hulaihi Wasallam.Â
Ucapan Prabowo tersebut ber-oposisi dengan narasi klaim politik Islam mereka sendiri. Â Klaim yang dibuat dengan keras tanpa kompromi. Â Bahwa selain kelompok mereka adalah kafir. Â Selain mereka Islamnya salah. Â Saat ini berbalik ke menyerang mereka sendiri. Dengan narasi, Apakah benar Prabowo itu penganut Islam?
Narasi pertanyaan tentang ke-Islaman Prabowo, Â terus bergulir di masyarakat yang pro dan kontra Prabowo. Â Seperti pengakuan La Nyalla Matalitti. Â Politisi asal Jawa Timur ini mengaku kalau Prabowo tidak bisa sholat dan membaca Al-quran. Mantan ketua umum PSSI tersebut, Â berani bertaruh ketidak mampuan Prabowo. Â Pasalnya, Â La Nyalla merupakan pendukung utama Prabowo di Pilpres 2014.
Mantra Hulaihi-Hulaihi
Kesalahaan ucap ini harus digunakan nalar berpikir kritis. Â Mengapa? Â Karena, Â selama ini Prabowo dan pendukungnya menggunakan metode propaganda firehose of falsehood. Metode propaganda yang digunakan Donald Trump dalam memenangkan Pilpres Amerika Lalu. Â Metode ini bekerja mengaduk kecemasaan emosi masyarakat. Â Dengan menyebarkan informasi bohong secara masif. Â Tujuannya, Â agar menarik perhatian masyarakat.Â
Apabila kesalahaan ini sebagai bagian dari metode propaganda tersebut? Â Kalau kesalahaan tersebut sebagai Propaganda. Â Sangat disayangkan, Â karena menghilangkan makna kesakralan sholawat. Sholawat menjadi mantra politik bukan sebagai kalimat ke-tauhidan. Â
Namun dalam bahasaan ini, Â kita tidak ingin mencampur adukan urusan agama dalam ranah politik praktis. Â Kesalahaan ucap sholawat jadi boomerang rangkain konstruksi identitas politik agama yang diciptakan Prabowo. Â
Mempolarisasi masyarakat dengan isu agama, hal yang ampuh dalam politik kekinian. Â Dimulai dengan pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Â Ahok yang secara matematis politik bisa unggul. Dengan gempuran isu agama, Â berbalik arah. Â Pasangan Anis Bawesaan dan Sandiago Uno yang semula jadi underdog. Â Membalik arah semua prediksi lembaga survey.Â
Sukses di Pilgub DKI inilah yang akan diadopsi dalam Pilpres 2019 mendatang. Â Tapi yang tidak dipahami tim Prabowo, Â Pilgub DKI dan Pilpres berbeda kasus. Â Propaganda dengan isu agama harus sempurna mengemasnya. Â Kekeliruan dalam pengemasaan akan berdampak negatif bagi yang memainkan. Â
Seperti halnya dengan kesalahaan menyebut lafal sholawat. Â Ucapan ini membuka kedok sebenarnya politisasi agama yang digunakan. Â Publik dipertontonkan kekeliruan yang fatal. Â Ucapan sholawat yang keliru.Â
Prabowo selama ini dipaksakaan sebagai representasi umat islam. Â Yang akan memperjuangkan kepentingan-kepentingan Islam. Â Kesalahan ucap tersebut membuat, Â publik mengetahui sejauh mana ke-islaman Prabowo. Â Pertanyaan sinis-pun muncul. Â Bagaimana mungkin mewakili umat Islam, Â sementara bersholawat saja tidak bisa?Â
Tentu saja, Â ini celah untuk menyerang balik propaganda Prabowo selama ini. Â Kubu Petahana akan memaksimalkan kekeliruan itu. Â Sebagai obat persepsi publik yang meng-kristal. Yaitu, Â isu tentang muslim dan non muslim.Â
Publik mulai melek, Â bahwa isu berbau konflik agama. Â Hanya sebagai alat politik kelompok tertentu untuk menang dalam pemilu. Propaganda yang digunakan selama ini, Â harus mendapat evaluasi Prabowo dan tim suksesnya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H