Sekitar setahun yang lalu, aku bersama istriku sedang silaturahmi ke rumah seorang sahabat, di daerah Gombong Kebumen.
"Pulangnya lewat jalur selatan yuk," pintaku pada istri, saat mengemas tas berisi oleh-oleh.
"Terserah kamu," jawab istriku.
"Oke..."
Kitapun sepakat lewat jalur selatan, walaupun biasanya lewat jalur pantura.
Saat kita melewati perbatasan wilayah Garut, tanganku seakan ada yang menggerakkan untuk berbelok ke kanan, ke arah Sumedang. Padahal aku tahu, bila aku mengambil jalan ke kiri, pasti akan bertemu jalan Nagrek.
Tetapi tidak. Aku mengikuti saja alur perjalanan yang seakan digerakkan oleh sesuatu itu.
Dan lagi istriku tidak komentar apapun, hanya menikmati keindahan jalan pegunungan yang meliuk-liuk.
Sejenak perjalanan terhenti. Rintik air yang turun semakin deras, meminta kita mengenakan jas hujan.
"Biarlah lewat Sumedang. Kalau nyasar yah masih di jawa barat." Batinku berbisik, lalu melanjutkan perjalanan.
Beberapa waktu kemudian, sekitar satu setengah jam perjalanan, kita sampai di pertigaan jalan kecil. Aku bingung karena belum pernah menemui jalan dan pertigaan tersebut. (Kebetulan aku pernah beberapa kali lewat daerah Sumedang, tapi untuk kali ini terasa sangat asing)
Aku bertanya pada seorang tukang ojek yang sedang mangkal. Mereka mengarahkan, agar aku melewati jalan kecil di pertigaan tersebut. Katanya jalan itu lebih cepat ke arah utara dan barat.
Akhirnya aku mengikuti saran tukang ojek itu. (Tukang ojek? Masa salah?)
Jalan kecil yang kulewati itu adalah jalan gunung yang jarang sekali ada rumah penduduk. Hanya ada pohon-pohon besar yang menutupi jalan(mungkin seperti jalan alas roban tahun 70an) dengan tebing dan jurang landai di kanan-kiri jalan. Ditambah hujan yang sangat deras, menambah sengsara dan bahagia bercampur menjadi satu. Saat itu adalah jam satu siang, namun terlihat seperti waktu maghrib karena mendung pekat dan lebatnya hutan.
Dalam perjalanan itu aku sungguh merasa aneh. Karena jalan itu adalah jalan kecil dengan lebar tak lebih dari satu mobil, juga beraspal sangat halus seperti sirkuit moto Gp. Mulus tak ada lubang yang membahayakan kendaraan yang lewat. Dan yang lebih aneh lagi, di jalan itu tidak ada satupun kendaraan yang lewat kecuali kita. Dua orang dengan satu sepeda motor.
Jalan itu menanjak curam. Naik dan terus naik. Sampai kita berada di area yang paling tinggi.
Sinar teramat terang yang lebih menyilaukan daripada terangnya sinar matahari datang secara tiba-tiba.
"Duuuaarrrrr..!!" tak sampai satu detik, petir sangat kencangpun mengiringi.