Pendidikan sudah memiliki pakemnya dalam sebuah sistem yang telah mapan. Kemapanan ini berpotensi bikin orang mencari hal baru yang diurusi. Karena terlalu lama dalam kemapanan, maka kadang hal baru yang diurusi tidak substansial. Karena itu, untuk para pendidik, mari kita kembali ke substansi. Berita tentang kekerasan terhadap anak sering kita dengar atau baca di berbagai media. Kebanyakan kekerasan dilakukan oleh orang dekat yang merasa memiliki kuasa atas anak. Orangtua dan guru adalah aktor utama yang paling punya peran penting untuk anak. Karena merasa memiliki anak atau murid, maka secara tidak sadar, kekerasan kerap kali terjadi. Ini yang disebut penyebab bawah sadar kekerasan terhadap anak. Namun dari sudut panang anak, persoalan ini menjadi sangat sensitif. Karena ketersediaan media dan eranya semua serba berani menyampaikan opini, maka anak dengan mudah protes, mengadu ke komnas, YLKI atau sejenisnya. Ada yang berpendapat, 'generasi protes' seperti ini sudah menjadi anak jaman. Satu sisi kesadaran kritisnya meningkat, di sisi lain boleh dibilang menciptakan generasi yang lemah, karena akses untuk mengeluh sudah sedemikian terbuka. Setidaknya demikianlah pendapat para guru terdahulu. Selain temperamen yang mempunyai peran memperkuat perasaan berkuasa atas diri anak, orangtua dan guru juga punya tujuan untuk mendidik. Namun di sisi lain, kita patut bertanya, apakah sebuah kekerasan layak disebut sebagai pendidikan? Kali ini kita akan fokuskan berbicara tentang guru, karena pembahasan tentang orangtua bisa dibaca di tulisan yang berbeda. Karena kebetulan contoh nyata yang aku temui adalah di sekolah. Seorang teman guru cerita bahwa ada seorang siswa yang mencukur rambutnya dengan style yang berbeda. Di bagian depan dibuat lebih tipis, sementara di bagian belakang agak tebal dan cenderung sedikit lebih panjang sampai menutupi separoh leher. Seorang guru merasa aneh. Ia memotong dengan paksa rambut anak tersebut sekenanya. Dia membuat semua bagian rambutnya lebih tipis. Untungnya siswa tersebut menurut dan tidak mempermasalahkan. Karena potongan yang dibuat guru asal-asalan, maka anak tersebut meratakan rambutnya. Saat kembali ke sekolah, kepala sekola bertemu dengan anak ini. Beliau bertanya, "Lho, kenapa rambutmu?". Karena bentuknya memang tidak bagus, maka anak tersebut bilang, "Habis dipetalin (dipotong secara asal) Pak X". Sebenarnya kalimat ini memang terlalu pendek untuk menjelaskan bahwa awal mulanya karena dipotong oleh Pak X. Karena menyebar dari mulut ke mulut, maka kata-kata siswa tersebut menyebar, hingga terdengar oleh Pak X. Guru yang mencukur siswa tersebut merasa terpojok. Ia memanggil anak yang dicukurnya tersebut, dan menamparnya bertubi-tubi. Untungnya anak ini easy going, jadi ya fine-fine saja (sepertinya). Karena takut anak ini mengadu, maka Pak X segera membawa persoalan ini dalam sebuah rapat. Ia menceritakan kronologi kejadiannya dan menambah dengan menghakimi siswa yang dicukur dengan sumpah serapah. Berbagai label, seperti 'tidak bisa diatur', 'menyimpang', 'pengecualian', 'dimaklumi' dan sebagainya. Padahal, hampir sebagian guru kenal bahwa siswa tersebut memang unik. Dia punya style penampilan sendiri. Bahkan anak tersebut tergolong siswa yang memiliki prestasi akademik di peringkat seperempat atas. Para guru jadi bingung ketika Pak X bilang 'dimaklumi. Apakah itu bawah sadarnya yang memang meminta tindakannya menampar siswa bertubi-tubi untuk dimaklumi? Sepertinya, Pak X sedang atau sudah terlupa akan substansi dalam pendidikan. Ini sedikit bergeser. Kalau Pak X merasa menghukum siswa tersebut, yang perlu diketahui lebih dulu, atas kesalahan apa siswa tersebut dihukum. Secara formal, tidak ada yang melarang siswa untuk memiliki style sendiri. Aturan hanya mencantumkan soal seragam dan atributnya. Ini yang juga bisa disebut penyebab bawah sadar kekerasan terhadap anak. Artinya, guru tersebut sudah tidak menyadari bahwa hukuman diberikan atas akumulasi ketidaksukaannya. Ini jelas berbeda dengan memberikan hukuman atas perilaku anak. [caption id="attachment_307797" align="aligncenter" width="400" caption="Wahai para pendidik, mari kembali kepada substansi pendidikan! (foto: okezone.com)"][/caption] Ternyata ada banyak faktor yang juga tidak disadari punya peran atas keluarnya tindakan-tindakan pendidik dari substansi pendidikan. Sistem yang sudah sedemikian mapan juga menyumbang bagi tindakan-tindakan yang tidak substansial. Mari kita kaji dari sisi psikologinya. Pada kenyataannya, memang banyak para pendidik, baik guru atau dosen (tidak semua) yang terlena atau terperangkap dalam kemapanan sistem. Jangankan hal yang berskala besar, dalam mengajar sehari-hari saja, kita layak bertanya kepada diri sendiri, apakah materi yang kita ajarkan juga kita ajarkan tahun lalu? apakah kita menggunakan metode yang sama?, bahkan, apakah kita menggunakan PowerPoint yang sama? Ketika semua sudah mapan dan menemukan ritmenya, maka pendidik, sebagaimana manusia pada umumnya, juga ingin melakukan hal yang memuaskan dirinya. Jika setiap hari aktivitasnya sama, maka mereka akan berusaha mencari tindakan-tindakan yang berbeda. Ini alamiah, karena tiap orang butuh pelestarian eksistensinya. Hanya saja, tindakan tersebut sulit diarahkan kepada inovasi pembelajaran. Segala hal yang sudah nyaman, pakem dan tidak membutuhkan banyak pengorbanan, akan lebih aman jika diteruskan. Karena itu, tindakan-tindakan untuk melestarikan eksistensi, justru tidak substansial untuk pendidikan. Sepertinya analisanya terlalu jauh. Namun hal ini tetap harus disadari oleh pembuat kebijakan, bahkan kemapanan tanpa inovasi dalam dunia pendidikan, justru dapat membuat para pendidik keluar dari substansi. Karena itu, untuk para pendidik, mari kembali ke substansi Pendidikan. Bagaimana pendapatmu tentang hal ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H