[Untukmu Ibu] Samudra Kerinduan
Nomer Peserta 156
Oleh Rudi S
Dear: Rudi
Kejinggaan langit terhampar lebar yang dibingkai dengan sebuah bingkai jendela kamar kecilku. Dibungkusi oleh perasaan rindu kampung halaman yang menjadi cerita. Semilir angin yang menusuk-nusuk tubuhku menjalar ke jalur-jalur pentelasi. Ditemani dengan lentera jingga. Didampingi dengan sebatang pena dan secarik kertas putih. Kumulai untuk menuliskan kisahku di negeri seberang.
Ku ukir satu persatu kata demi kata, menorehkan mata pena yang setia pada mata runcing serta goyangan jari-jemari yang selalu setia menemani seikat simbol cinta, kasih dan sayang, serta kerinduan yang belum mungkin bisa terobati dalam keheningan di sore itu.
Ibu yang ku sayangi..
Kutuliskan goresan penaku pada kertas putih tanpa noda ini yang masih kosong melompong, menulisi kisah perjalanan ceritaku di negeri orang ini. Selama, beberapa tahun ini aku selalu memberikan kabar kepadamu dengan seikat simbol pesan ini, dari berbagai peristiwa yang kualami.
Untukmu ibuku yang kurindui...
Dalam jejak nafasku, kurangkul semua peritiwa yang menggelayuti hidupku. Kerakusan, kesadisan, dan egois, selalu kutatap dan kuamati dari sendi-sendi kehidupan yang menderaku. Namun engkau jangan bersedih hati, aduhai ibuku.
Ibuku yang tersayang...
Walau begitu kejamnya hidup ini, anakmu masih berada di jalan yang benar. Walau terkadang, sesekali ingin mencoba-coba dari kemanisan, dan kelezatan perhiasan dunia ini. Namun pesanmu yang dahulu kuanggap kaku, kolot, tak pergaulan, semuanya itu menjadi senjata ampuhku dan masih kuingat segar dalam sendi-sendi sel syarafku.
Celotehanmu yang hampir setiap pagi membangunkan dari terlelapnya mimpi panjangku, marahanmu yang selalu kudengar dalam setiap tindakanku, semuanya itu tidak lain hanya ingin menyelamatkan anakmu dari kejamnya dunia ini. Sekarang semuanya itu merupakan kerinduanku yang berat padamu. Kalimat-kalimat yang biasa kau ujarkan kemarin juga merupakan kontrol dalam samudra kehidupanku di negeri orang ini.
Ibuku yang kurindui...
Betapa ingatnya aku, ketika memoriku membalik ke masa laluku. Kau tatih aku dengan memegang kedua tanganku. Kau ajari aku melangkah satu persatu. Kau ajari aku bagaimana cara memulai dengan benar. Melangkahkan langkah yang pertama dilanjut yang kedua. Kau ajari aku bagaimana tersenyum yang menyapa. Kau bisikan aku lantunan firman-firman suci dari sang pencipta. Kau topang aku dengan kedua tanganmu ketika aku hampir terjatuh dari pertahanan tubuhku yang masih mungil.
Ibuku yang kurindui...
Kekuatan seikat simbol nasehatmu mengalahkan maksiat yang sedang kuhadapi. Hampir penjerumusan kulit jasadku ternoda dari penjelmaan wanita yang bercadar hitam. Hampir saja nafsu bejatku tak terkendali rupa.
Ibuku yang kunantikan dalam pertemuan...
Kekangan pekerjaan, beban hidup keluarga, semuanya itulah yang menjadi penghalangku untuk kembali ke hadapanmu. Sesekali ingin kutinggalkan semuanya itu, namun apalah dayaku dari amanah Tuhan yang telah diembankan ke atas pundakku. Ingin kulepas rasa egoku. Meninggalkan rempah-rempah semak belukar kegelisahan kelemahanku ini.
Ibuku yang kurindui siang dan malam...
Curhatku adalah sayangmu.
Sekarang putramu “Rudi” telah tumbuh menjadi seorang pria yang dewasa. Entah kenapa semua ini harus kubawa sendiri berlari mengejar mimpi kehidupan. Kuhadapkan pada kasih sayang santun dan keikhlasanmu. Ku tahu dalam setiap ibadah malammu, selalu dan selalu menuturkan perlahan, menghaturkan lafaz-lafaz suci illahi. Kau mendoakan aku, agar dalam setiap sisi kehidupanku bisa kuat menghadapi berbagai macam bentuk permalahan yang diakan dihadapi. Ketulusan perbuatanmu, kelembutan tutur katamu, kepiawaian sikapmu, menjamahi hati sanubariku untuk selalu tunduk pada penciptaku.
Ibuku yang pemaaf...
“Ah...is..dahulu selalu keluar dari lisan kotorku. Kata-kata yang selalu membuat ibuku kesal, jengkel, sakit hati. Sekarang aku paham dari kata-kata kotor itu.
Seribu alasan kutengkari logikamu. Kini, semua itu, hancur berkeping-keping tanpa tersisa sedikitpun puing-puing keegoanku.
Saking jengkelnya ibu hanya berkata ”Engkau boleh pintar, dan engkau juga boleh pandai, namun jangan kepandaian dan kepintaranmu itu untuk memintari.
Ibuku yang kurindui...
Ku rindu akan cinta kasihmu yang dahulu selalu kuabaikan, yang dahulu selalu kunapikkan. Yang dahulu selalu ku abaikan suruhanmu. Hampir di setiap hari-hariku, aku sibuk dengan urusanku sendiri. Tanpa mempedulikan nasibmu di kampung sana. Kepenatanmu, keletihanmu, kerinduanmu hanya mampu kutanam dalam benak rinduku.
Ibu yang ku sayangi...
Aku masih ingat ketika bibirmu sedang mengecup dahiku yang masih moreng. Sentuhan itu menjadi senjata ampuhku dalam merindukanmu. Ketika itu, aku masih berusi lima tahun sempat aku malu pada teman-temanku. “Ah...kamu anak mama” celotehan yang keluar dari salah satu mereka. Hampir setiap bergaul, aku merasa terbebani dari peristiwa itu. Namun kecupan itulah yang menjadi penopang jalannya hidupku.
Tuntutanku selalu kau penuhi. Tanpa ku tahu apa yang menjadi masalahnya. Tanpa ku pikir dari mana kau peroleh uangnya. Sepusing apa yang kau emban. Yang terpenting adalah uangnya bisa ditanganku.
Sekarang kumulai memahami. Kenapa kau yang dahulu memberikan dari apa yang kau pinta. Begitu sakitnya, ketika semua itu terjadi kepadaku. Betapa sulitnya mewujudkan semua yang kupinta dulu.
Ibu....yang kusayangi...
Rintihanku adalah rintihanmu...
Ketika ku sakit, jemarimu selalu mendekap pada keningku...
Kau pula yang membasahi rambutku dengan daun pengeluaran panasku.
Kini ketika aku sakit, tiada lagi yang memegang rambutku yang hitam pekat ini. Hampir tak terurur lagi rambutku yang hitam pekat ini.
Ibu yang kusayangi dan kubanggakan...
Sekarang usiamu sudaah mulai memasuki lansia. Tak seharusnya aku harus membohongi. Bohong yang biasa mendera menyelimuti ragaku yang gagah ini. Padahal dusta semasa remaja, engkau mengetahui dan memahaminya, namun engkau hanya tersenyum melihat kejanggalan itu. Perbuatan yang durhaka itu, selalu dan selalu ku lakukan ketika kita masih bersama dulu. Namun, sekarang aku paham, kenapa ibu hanya tersenyum manis.
Ibu yang ku rindui...
kini anakmu hampir kembali. kembali dari duka lama. merampas kerakusanku pada dunia ini. kan ku cium mata kakimu, tangan, dan dahimu. permulaan bagiku untuk meruntuhkan rasa kesombonganku. meluruhkan sayap-sayap penyesalan yang selama ini telah durhaka kepadamu. kan kubawa sebongkah penyesalan dan rasa rinduku kepadamu. kan ku bentengi tubuhmu yang telah kerisut karut. kan kutinggalkan semua yang telah melalaikan hak kasih sayangku kepadamu.
Namun alangkah malunya aku dengan keadaanku, malunya aku dengan sekujur jasadmu, yang telah terbungkus oleh kain putih bersih yang bertabut aroma wangi firdaus menjemputmu. ku menangis dengan sekuat-kuatnya. memecahkan keramaian orang membaca surat yasiin.
Maafkan aku ibuku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H