Mohon tunggu...
Rudianto Nurdin
Rudianto Nurdin Mohon Tunggu... pegawai negeri -

@rudiantonurdin

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hiper Komunikasi dalam Pilgubsu

6 Maret 2013   08:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:14 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pesta demokrasi level daerah  melalui pemilihan kepala daerah secara langsung memang memberikan konsekuensi pada berubahnya pola komunikasi politik di daerah saat ini. Apalagi jika dibandingkan saat kepala daerah masih dipilih oleh DPRD dulu, suasananya tidaklah se -gegap gempita seperti sekarang ini. Motivasi untuk meraih dukungan simpati mayoritas rakyat di daerah mendorong pasangan  kandidat untuk habis-habisan “menjual diri” memalui berbagai jenis media komunikasi yang tersedia.

Sumatera Utara dalam waktu dekat tepatnya 7 Maret 2013 kembali akan menggelar pilgubsu secara langsung. Ini merupakan pesta demokrasi langsung kedua yang digelar untuk memilih gubernur di daerah ini. Melalui pesta ini, masa depan provinsi terbesar di pulau Sumatera ini lima tahun ke depan akan ditentukan. Siapa yang akan dipilih serta berapa tingkat partisipasi pemilih akan ditentukan oleh proses komunikasi politik yang dilakukan kandidat.

Komunikasi Politik Pilgubsu

Salah satu yang menarik untuk diamati adalah bagaimana komunikasi politik yang dilakukan para kandidat dalam merebut simpati publik dalam pemilihan gubernur Sumatera Utara.  Rangkaian pilgubsu jauh hari telah  diramaikan dengan berbagai aksi tebar pesona oleh para kandidat. Hampir di seluruh sudut  kota dan desa bahkan hutan, diramaikan dengan poster, spanduk dan baliho yang menampilkan wajah-wajah para tokoh yang akan maju. Sementara di suratkabar yang terbit di Sumatera Utara meriah  dipenuhi berita-berita kegiatan para kandidat menebar simpati. Mulai berita menghadiri seminar, sunatan masal, memberi bantuan ke rumah ibadah, bertemu tokoh agama dan berbagai kegiatan sosial lain lazim memenuhi halaman suratkabar lokal.

Semakin mendekati hari pelaksanaan pilgubsu 7 Maret 2013, intensitas komunikasi politik para kandidat akan semakin gencar. Iklan politik pun muncul di suratkabar, radio dan televisi. Bahkan tak sedikit pasangan yang berani memasang iklan politik di televisi nasional, meski dengan bayaran yang tidak sedikit.

Secara teori, para pasangan benar telah melakukan komunikasi politik. Apa yang dilakukan para pasangan kandidat adalah sebuah proses komunikasi untuk memperkenalkan diri kepada khalayak yang berkaitan dengan aktivitas pilkada dengan tujuan meraih simpati publik dan akhirnya memenangkan pemilihan.  Para pasangan kandidat jelas melakukan komunikasi politik untuk tujuan memenangi pilkada dengan mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat agar mau memberikan suara bagi mereka pada saat pilkada.

Hiper Komunikasi

Namun sangat disayangkan, apa yang kita lihat selama ini, proses komunikasi politik para kandidat dalam mempengaruhi publik cenderung mengabaikan ruh demokrasi yang sangat menghargai rakyat sebagai pemilik suara.  Pesan-pesan politik yang disampaikan para pasangan kandidat justru jauh dari semangat demokrasi yang mendorong partisipasi publik dalam proses politik secara sadar dan rasional. Yang didapatkan oleh masyarakat adalah simbol-simbol komunikasi yang justru membuat masyarakat ragu untuk terlibat dalam proses politik tersebut.

Over expose atau sosialisasi yang terlalu berlebihan terlihat dari berlimpahnya pesan yang menampilkan nama, identitas, wajah, aktivitas  dan pesan politik lainnya.  Ini yang disebut dengan Hiper Komunikasi atau komunikasi yang melebihi proses komunikasi itu sendiri. Pesan yang ditampilkan juga terkesan bersifat remeh temeh. Dalam istilah komunikasi disebut dengan banalisasi komunikasi. Slogan jujur, merakyat, dari desa, melayani, sejahtera, keberagaman, anti korupsi tak cukup menggambarkan kesungguhan para kandidat. Pesan itu lebih tepat dipajang di depan kantor polisi, kejaksaan, kantor kecamatan atau gedung KPK.

Hiper komunikasi akan akan menghasilkan hiper realitas, yaitu realitas atau informasi yang membingungkan, kacau dan tak bisa dimaknai antara mana yang penting dan yang tidak, mana yang serius dan yang santai serta mana yang benar atau yang tidak benar. Ujungnya, muncul sikap skeptis dan apatis masyarakat terhadap pelaksanaan pilkada karena para kandidat tidak mampu menghadirkan pesan-pesan yang dianggap penting oleh publik.

Kita dapat mengidentifikasi beberapa masalah komunikasi politik kandidat dalam pilgubsu yang sedang berjalan antara lain ; Komunikasi politik yang pragmatis, publik yang  menjadi objek eksploitasi dalam komunikasi politik, pesan politik bersifat “lips service”, tidak menginspirasi dan memotivasi masyarakat, tidak memenuhi kepentingan hidup masyarakat, menebar konflik dan kebencian serta tidak mendidik masyarakat.

Penutup

Harus dipahami, psikologi khalayak dalam sebuah proses komunikasi termasuk komunikasi politik. Khalayak dalam hal ini publik yang memiliki suara akan menerima dan bersikap atas pesan-pesan politik yang diterimanya dengan menggunakan ukuran kepentingan mereka. Dalam teori klasik, publik akan melihat apakah pesan itu berhasil menggugah perhatian mereka (Attention), menarik untuk diterima sesuai kebutuhan mereka (interest), bisa menimbulkan hasrat untuk mengambil sikap (desire),  dapat mempengaruhi untuk pengambilan keputusan (decision) dan pada akhirnya mampu menghasilkan tindakan yaitu datang ke TPS dan memilih kandidat yang ingin mereka pilih pada 7 Maret 2013 akan datang.

Demokrasi yang semakin matang, harusnya dibangun dengan komunikasi politik yang terbuka, mencerdaskan masyarakat serta memotivasi warga untuk melibatkan diri dalam proses politik demi kesejahteraan. Maka saatnya paradigma pragmatis yang selama ini diusung oleh para kandidat diganti dengan pendekatan komunikasi politik yang demokratis. Kesetaraan hak dalam prinsip demokrasi bisa menjadi modal berkreasi bagi para penyusun strategi komunikasi kandidat. Tanpa harus mengurangi upaya memenangi pertarungan dalam pilkada tentunya.

Bila kita sepakat dengan ukuran komunikasi efektif yaitu menciptakan pemahaman, memberikan kesenangan, membangun hubungan sosial yang baik, menciptakan harmonisasi dan menghasilkan tindakan, maka harusnya para kandidat dalam pemilihan gubernur Sumatera Utara berupaya memberikan pesan politik yang bisa dimengerti dan dipahami serta memenuhi kebutuhan publik. Di sisi lain, pesan politiknya harus memberikan rasa senang. Tidak cukup itu, komunikasi yang dibangun harusnya bisa menciptakan hubungan sosial diantara masyarakat dengan kandidat dan pendukung kandidat. Harus pula dipastikan tidak ada pesan yang merusak harmonisasi di masyarakat misalnya dengan menebar kebencian dan konflik. Kuncinya, semua yang dikomunikasikan harus ditindaklanjuti dengan bukti, tidak sekedar janji.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun