Mohon tunggu...
Rudianto Nurdin
Rudianto Nurdin Mohon Tunggu... pegawai negeri -

@rudiantonurdin

Selanjutnya

Tutup

Politik

Senjakala Reformasi

21 Mei 2013   07:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:15 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_244513" align="aligncenter" width="560" caption="Dok: Pribadi"][/caption] Mungkin hanya sebagian saja rakyat Indonesia yang masih mengingat tanggal 21 Mei 1998 pernah terjadi peristiwa bersejarah di negeri ini. Pada tanggal itu, rezim orde baru akhirnya runtuh setelah berkuasa selama 32 tahun. Presiden Soeharto pada hari minggu pagi sekitar pukul 10.00 wib  menyampaikan pidato pengunduran dirinya di hadapan seluruh rakyat Indonesia. Ribuan  aktivis mahasiswa yang masih bertahan di gedung DPR/MPR dan kantor-kantor DPRD di daerah bersorak-sorai penuh suka cita menyambut era yang disebut reformasi.

Begitu banyak yang harus dikorbankan bangsa ini untuk memperjuangkan reformasi. Meruntuhkan rezim yang masa itu dianggap terlibat dalam praktik KKN yang parah serta melakukan pelanggaran HAM berat tak hanya nyawa aktivis mahasiswa yang melayang.  Kerusuhan, pembakaran, penjarahan, pemerkosaan hingga penculikan aktivis menjadi drama yang tragis untuk dikenang, namun berat untuk begitu saja dilupakan. Tragedi Tri sakti dan Selemba yang menewaskan aktivis-aktivis mahasiswa,  kerusuhan massal di Medan, Jakarta, Solo dan kota-kota besar lainnya yang menewaskan ratusan hingga ribuan orang, aktivis-aktivis prodemokrasi seperti Wiji Thukul, Dedi Hamdun dan lain-lain yang hingga kini tak tau rimbanya adalah catatan-catatan kecil akan dahsyatnya resiko dari perubahan besar bernama reformasi itu.

Kini, 15 tahun berlalu, mungkin hanya sedikit orang yang bisa mengingat berapa banyak sumber daya yang dikorbankan bangsa ini untuk melakukan gerakan reformasi.  Hanya sedikit yang masih mengenang orang-orang yang meregang nyawa sebagai tumbal.  Cuma segelintir yang tak lupa pelanggaran HAM yang menimpa aktivis mahasiswa dan mayarakat akibat kekerasan militer. Hanya beberapa orang yang masih mengingat agenda reformasi yaitu cabut dwifungsi TNI, amandemen UUD 1945, adili Soeharto dan kroni-kroninya, penegakan supremasi hukum, berantas KKN dan penerapan otonomi daerah seluas-luasnya. Yang lebih memprihatinkan hampir sebagian besar mereka yang mengepalkan tangan dan berteriak kencang “reformasi” kala itu kini berubah bentuk menjadi orang yang paling depan  mengkhianati reformasi.

Kegagalan reformasi di negeri ini dimulai dari gagalnya sistem politik menciptakan partai politik yang bersih dan cerdas.  Partai-partai yang lahir sebagai buah reformasi seperti PDI-P,PAN, PKS, PKB, PBB dan Partai Demokrat tak mampu menjadi gerbong yang memadai untuk menjalankan agenda reformasi. Alih-alih untuk menjalankan agenda reformasi, partai-partai tersebut justru tersesat dalam jalan gelap yang dulu ingin ditutup oleh gelombang reformasi. Pragmatisme politik, perebutan kekuasaan dan praktik korupsi malah menjadi wajah suram lembaga-lembaga yang mestinya menjadi tumpuan bangsa ini menjalankan agenda reformasi. Supremasi hukum yang mestinya menjadi panglima untuk mengatasi berbagai persoalan pelik bangsa ini justru dipermainkan oleh mereka-mereka yang ada di dalam partai-partai politik dan pusaran kekuasaan.  Maka tak heran jika di masyarakat kini muncul penilaian “lebih enak di masa orde baru” dan menyalahkan gerakan reformasi yang lebih menyengsarakan rakyat ketimbang mensejahterakan.

Sebenarnya, Indonesia sempat memiliki harapan dengan berdirinya partai-partai politik baru yang berplatform reformis dan prodemokrasi, yaitu dengan terjunnya aktivis-aktivis gerakan 98 ke dalam partai politik. Mereka diharapkan menjadi pengawal atas keberlangsungan agenda reformasi sekaligus menghalau penumpang gelap reformasi yang oportunis. Di tangah mereka diharapkan lahir produk-produk legislasi yang pro pada perbaikan kesejahteraan rakyat. Namun apa dinyana,  sebagian besar aktivis-aktivis itu dengan cepat bermetamorfosis menjadi tokoh-tokoh besar yang sombong, angkuh dan melepas baju idealisme aktivis untuk kemudian berlomba-lomba dengan penumpang gelap yang oportunis merebut kekuasaan dan bahkan ikut melakukan praktik KKN yang dulu digugatnya.

Lima belas tahun selepas gerakan reformasi menumbangkan rezim orde baru, kini Indonesia tak juga menjadi lebih baik. Agenda-agenda reformasi yang diharapkan bisa mengatasi krisis multidimensi yang mendera bangsa ini, tak satupun yang dilaksanakan dengan serius. Pengadilan terhadap mantan Presiden Soeharto  dan kroninya atas pelanggaran hukum dan hak asasi manusia tak juga terlaksana hingga ia meninggal dunia. Pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme yang dianggap menjadi biang utama krisis di Indonesia, hingga kini masih tidak jelas arahnya. Meski sudah ada lembaga penegakan hukum superbody seperti KPK, toh praktik KKN tak juga berkurang bahkan semakin menjadi-jadi. Otonomi daerah seluas-luasnya sengaja tidak didisain untuk kepentingan kesejahteraan rakyat di daerah, tapi direkayasa demi kepentingan elit politik di tingkat pusat dan daerah untuk mendapatkan kekuasaan di daerah.  Begitu juga penegakan supremasi hukum yang kian hari kian suram. Lembaga-lembaga penegakan hukum bukannya menjadi benteng supremasi hukum tapi justru berasyik masyuk terlibat dalam konflik-konflik banal sesama mereka sendiri. Sementara mafia hukum, makelar kasus dan penjahat menari-nari kegirangan menyaksikannya dari jauh.

Di senjakala reformasi, Indonesia masih saja belum mampu keluar dari cerita penderitaan rakyat yang memilukan. Hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak, untuk memperoleh pendidikan berkualitas dan terjangkau, untuk hidup dengan rasa aman dan hak untuk hidup sejahtera di negerinya sendiri menjadi sangat mahal kini. Penderitaan keluarga yang tidak memiliki rumah, pemuda yang tidak mendapatkan perkerjaan, ibu-bu rumah tangga yang tak mampu membeli sembako, anak-anak yang tidak bersekolah dan cerita kemiskinan masih mudah ditonton di tanah air. Semudah kita menyaksikan kisah para koruptor menggasak uang dari keringat rakyat. Semudah kita melihat para politisi memamerkan kuasa, harta dan wanita mereka di layar kaca. Semudah kita menonton pidato-pidato kebohongan penggila kekuasaan di panggung-panggung kampanye pemilihan umum.

Sesungguhnya di setiap kegelapan pasti ada secercah cahaya. Keyakinan itu mesti dimiliki generasi masa kini. Kegagalan generasi 98 bersama para penumpang gelap oportunis di gerbong reformasi harus ditutup dengan kisah melahirkan generasi harapan yang membawa perubahan ke arah lebih baik.  Senjakala reformasi harus diganti esok pagi dengan kisah baru dari generasi baru yang membawa menuju Indonesia baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun