Tak mudah bagi khayalak untuk mengindar dari gempuran pesan politik elit yang dipaksakan. Misalnya saja Partai Nasdem dengan kekuatan Media Grup dan MNC Grupnya, cenderung mendominasi arus komunikasi politik dari elit kepada khalayak. Hampir setiap saat, khayalak dipaksa melihat pidato elit Partai Nasdem yang berpidato, menghadiri acara dan lainnya dengan memnggunakan ruang publik yang sebenarnya milik bersama komunikator dan khalayak. Begitu juga Partai Golkar dan ARB yang menggunakan saluran TV One yang menghujani khayalak dengan pesan-pesan politiknya untuk kepentingan menuju pemilu 2014.
Di daerah juga tak jauh berbeda. Elit politik lokal dengan kekuasan dan uang yang dimilikinya seperti membeli ruang publik dan memaksa khalayak untuk melihat, mendengar dan memperhatikan pesan-pesan yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan mereka.
Rakyat dan Demokrasi
Indonesia sudah memilih demokrasi sebagai ideologi politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sistem politik dan pemerintahan dijalankan dengan prinsip dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam negara demokrasi, setiap warga negara mempunyai kepentingan dan preferensi sendiri-sendiri tentang siapa yang seharusnya memerintah, membuat kebijakan publik apa yang harus dibuat. Itu sebabnya, rakyat esensinya adalah pemilik kekuasaan tertinggi dalam demokrasi melalui kekuatan suara yang dimilikinya. Rakyat punya kekuasaan untuk menentukan kepada siapa ia harus memberikan suaranya pada agenda demokrasi, yaitu pemilu. Keikut sertaan warga negara dalam pemilu demokratis merupakan elemen dasar dari sebuah rezim demokrasi. Tanpa adanya partisipasi warga sama sekali dalam pemilu, maka tidak mungkin ada demokrasi dan tidak ada pemerintahan demokratis (Mujani dkk, 2011).
Namun dalam proses demokrasi itu sendiri rakyat justru sering diabaikan dan hanya dijadikan objek. Salah satunya dalam kegiatan komunikasi politik yang dilakukan elit politik. Rakyat diposisikan sebagai khayalak yang lemah, pasif dan hanya menerima pesan-pesan politik secara terpaksa yang belum tentu sesuai dengan kebutuhannya.
Sebagaimana yang kita lihat selama ini, rangkaian proses pemilu atau pilkada biasanya akan diramaikan dengan berbagai aksi tebar pesona oleh para kandidat. Ini dilakukan bahkan jauh hari, bisa dua tahun sebelum piemilihan digelar. Hampir di seluruh ibu kota Provinsi dan Kabupaten/kota yang akan menggelar pilkada, selalu diramaikan dengan poster, spanduk dan baliho yang menampilkan wajah-wajah para tokoh yang akan maju.
Sementara di suratkabar, biasanya akan dipenuhi berita-berita kegiatan para kandidat menebar simpati. Mulai berita menghadiri seminar, sunatan masal, memberi bantuan ke rumah ibadah, bertemu tokoh agama dan berbagai kegiatan sosial lain lazim memenuhi halaman suratkabar lokal.
Semakin mendekati hari pelaksanaan pemilu, intensitas komunikasi politik para kandidat akan semakin gencar. Iklan politik pun muncul di suratkabar dan televisi. Bahkan tak sedikit pasangan yang berani memasang iklan politik di televisi nasional, meski dengan bayaran yang tidak sedikit.
Secara teori, para pasangan benar telah melakukan komunikasi politik. Artinya, apa yang dilakukan para pasangan kandidat adalah sebuah proses komunikasi untuk memperkenalkan diri kepada khalayak yang berkaitan dengan aktivitas pilkada dengan tujuan meraih simpati publik dan akhirnya memenangkan pemilihan. Mas’oed dan Andrew menjelaskan komunikasi politik adalah proses dan kegiatan membentuk sikap dan perilaku politik yang terintegrasi ke dalam suatu sistem politik dengan menggunakan simbol-simbol yang berarti (1990).
Para pasangan kandidat jelas melakukan komunikasi politik untuk tujuan memenangi pilkada dengan mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat agar mau memberikan suara bagi mereka pada saat pilkada.
Namun sangat disayangkan, apa yang kita lihat selama ini, proses komunikasi politik para kandidat dalam mempengaruhi publik cenderung mengabaikan ruh demokrasi yang sangat menghargai rakyat sebagai pemilik suara.
Pesan-pesan politik yang disampaikan para pasangan kandidat justru jauh dari semangat demokrasi yang mendorong partisipasi publik dalam proses politik secara sadar dan rasional. Yang didapatkan oleh masyarakat adalah simbol-simbol komunikasi yang justru membuat masyarakat ragu untuk terlibat dalam proses politik tersebut. Ujungnya, muncul sikap skeptis dan apatis masyarakat terhadap pelaksanaan pilkada karena para kandidat tidak mampu menghadirkan pesan-pesan yang dianggap penting oleh publik. Tampaknya, para kandidat berdiri teguh di posisinya dan lupa melihat apa yang diperlukan publik di posisi lain.
Kita dapat dengan mudah mengidentifikasi beberapa kelemahan komunikasi politik kandidat dalam pilkada: Komunikasi politik ang pragmatis, publik yang menjadi objek eksploitasi dalam komunikasi politik, pesan politik bersifat “lips service”, tidak menginspirasi dan memotivasi masyarakat, tidak memenuhi kepentingan hidup masyarakat, menebar konflik dan kebencian serta tidak mendidik masyarakat
Rakyat dan Khalayak Politik
Dalam konteks komunikasi politik, Mcquail & Windahl dalam Venus (2004:98) menjelaskan khalayak adalah sejumlah besar orang yang pengetahuan, sikap dan perilakunya akan diubah melalui kegiatan kampanye.
Khayalak menurut bukanlah ruang hampa. Khalayak merupakan makhluk hidup yang memiliki pikiran dan perasaan dalam proses komunikasi. Khalayak dalam kegiatan komunikasi politik seperti kampanye, memiliki konsep keyakinan tentang sesuatu yang dianggapnya benar, memiliki sikap berupa kognisi atau keyakinan yang bersifat positif dan negatif, memiliki perangkat nilai dalam melihat sesuatu dan memiliki kebutuhan yang harus dipenuhinya dalam komunikasi politik .
Dalam politik, khalayak sebagai rakyat yang memiliki kuasa dengan keyakinan, sikap, nilai dan kebutuhan terhadap pilihan politiknya, harusnya menjadi subjek utama yang memainkan peranan untuk menentukan siapa yang harus dipilih dan pesan politik apa yang harus diterimanya.
Namun dalam kenyataannya, era demokrasi saat ini justru mengenyampingkan peran khalayak sebagai “second position” setelah komunikator politik. Seringkali kita melihat, dalam komunikasi politik, dominasi komunikator politik mengabaikan kebutuhan khalayak sebagai rakyat. Elit politik dengan kekuasaannya sebagai komunikator berupaya mempengaruhi opini publik dengan pragmatis dan mengabaikan kebutuhan khayalak.
Media massa belakangan ini, lebih banyak memfasilitasi pesan-pesan politik elit sebagai komunikator untuk disampaikan kepada khalayak dan sangat jarang memberikan ruang kepada khalayak untuk memainkan keyakinan, sikap, nilai dan kebutuhannya atas demokrasi. Ruang publik yang oleh Habermas dipersyaratkan dalam demokrasi, bukan lagi milik khalayak sebagai rakyat, tapi didominasi oleh elit yang memaksakan pesan-pesan politiknya.
Kuasa Khalayak
Khayalak dengan kekuasannya, saatnya diberi ruang dan bangkit melawan hegemoni elit. Melalui media alternatif misalnya media sosial, khalayak harus memberdayakan diri dengan keyakinan terhadap siapa yang dianggapnya layak untuk memimpin secara demokratis. Khalayak harus bersuara atas sikapnya yang setuju atau tidak setuju terhadap apa yang dikatakan oleh elit politik. Berdiam diri atas apa yang dipaksakan oleh elit akan membuat demokrasi menjadi suram. Khalayak harus berani menggunakan nilai-nilai yang diyakininya untuk menguji apakah seseorang itu pantas atau tidak menjadi elit pemimpin. Khalayak sebagai rakyat yang berkuasa juga harus berani memilih untuk menolak pesan politik yang tidak sesuai dengan kebutuhannya. Bahkan jika itu harus dengan tidak memberikan kuasa suaranya kepada siapapun, jika ia merasa kebutuhannya tidak bisa dipenuhi. Itulah Kuasa khalayak!.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H