Ketua Fraksi Gerindra DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi mengancam akan melengserkan Jokowi dari kursi gubernur DKI Jakarta. Sanusi mengatakan, jika Jokowi kalah dalam Pilpres, dia tidak boleh lagi menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta. Desakan Fraksi Partai Gerindra DPRD DKI Jakarta yang mengancam menurunkan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) melalui hak angket itu, ditanggapi dingin oleh PDIP-P................(sumber merdeka.com 7/4/2014)
Fenomena politik di atas akhirnya tak dapat menahan saya untuk berkomentar pula mengenai kisah-kisah emosional yang muncul menjelang pencoblosan 9 April 2014 nanti entah lewat puisi, orasi, klarifikasi di televisi, olok-mengolok, ancam-mengancam dan ekspresi-ekspresi emosi lainnya.
Tadi saya berpikir blunder hanya terjadi di sepak bola, ketika piala sudah di depan mata, karena hanya satu kesalahan yang dibuat oleh pemain belakang pada masa injury time seolah menghapus perjuangan kurang lebih 119 menit sebelumnya, terpaksa kesebelasan favorit itu harus gigit jari melepaskan piala kejuaraan yang dinanti-nantinya lebih dari sepuluh tahun. Bahkan sampai bayangan piala saja mesti lenyap dari pandangan. Menyesakkan sekali blunder ini. Dan ternyata tampak-tampaknya saya bakalan melihat blunder terjadi juga di percaturan politik beberapa saat menjelang PILEG maupun PILPRES nanti jika “para pemain” tidak segera menyadari fenomena blunder ini. Beberapa kesalahan jika dibuat pada masa-masa “injury time” (masa tenang) seperti ini dapat sekejap meruntuhkan reputasi partai politik yang sudah susah payah dibangunnya bertahun-tahun. Blunder politik dapat menimpa partai politik maupun figur dari partai manapun.
Saya jadi teringat kisah Jengis Khan dengan rajawali kesayangannya. “Setelah lelah berperang Jengis Khan Raja Mongol yang termahsyur itu memutuskan untuk berburu ke hutan menunggang kuda bersama anjing pemburu dan tak lupa rajawali kesayangannya diajaknya juga sebagai penuntun arahnya. Saat perjalanan pulang, sang raja kehausan. Ia menemukan tetesan air bening di bebatuan. Kemudian raja menampung tetesan air itu ke dalam sebuah gelas. Ketika hendak meminumnya, tiba-tiba rajawali menukik dan memukul tangan raja sehingga tumpah air dari gelas itu. Beberapa kali terulang kembali sehingga membuat raja marah besar. Ketika terakhir kali rajawali hendak menumpahkan air yang diminumnya, raja kemudian menebas leher rajawali dengan pedangnya hingga mati. Karena marah dan haus sekali, sang raja naik lebih lebih tinggi untuk mencari sumber air tersebut. Ketika tiba di telaga kecil sumber tetesan air itu, betapa terkejutnya ia melihat seekor ular berbisa mati menganga di mengambang di telaga. Sudah pasti air di telaga itu terkontaminasi bisa ular tersebut. Hati raja menjadi sesak mengingat kematian rajawali yang rupanya berusaha keras menyelamatkannya. Raja menuruni bukit dan menggendong rajawalinya yang sudah mati. Hati kecilnya menjerit. Hari ini aku mendapat pelajaran yang menyedihkan, aku tidak akan melakukan sesuatu apapun jika sedang marah”.
Mendengar orasi-orasi politik, puisi berbalas puisi, statement ancam-mengancam, olok-mengolok sebagai penipu di hari-hari terakhir masa kampanye menjelang Pemilu Legislatif tak ubahnyasepertimendengar ekspresi emosi yang saya anggap sebagai ekspresi kekecewaan, kemarahan bahkan ketakutan. Puisi, orasi apapun itu seolah-olah paling benar sendiri. Jadilah puisi, orasi itu seperti sebuah pembenaran (bukan kebenaran). Padahal menurut saya pembenaran itu seperti kebohongan! kita akan berusaha berbohong untuk menutupi kebohongan sebelumnya. Setali 3 uang, sekali kita membuat pembenaran, kita akan membuat pembenaran lain untuk membenarkan pembenaran yang kita anggap benar tadi. Bukan tak mungkin perselisihan ini tak akan selesai sebelum Presiden sesungguhnya terpilih nanti.
Semestinya kisah Jengis Khan di atas cukup menyadarkan kita bahwa segala sesuatu yang kita buat pada saat marah, akan selalu mendatangkan penyesalan. Jengis Khan dapat menyelidiki terlebih dahulu mengapa rajawali kesayangannya mengusiknya hingga marah. Kalau saja Jengis Khan tidak marah dan mencari sebabnya, dia tidak akan menyesal ditinggalkan rajawali kesayangannya. Dalam konteks persepakbolaan ataupun kompetisi politik yang sesungguhnya, emosi-emosi marah, kecewa dan takut yang tercurah lewat puisi, orasi, olokan, ancaman akan menjadi blunder bagi figur maupun partai politik yang emosional. Reputasi yang dibangun selama bertahun-tahun akan runtuh dalam sekejap jika emosi ini kebablasan. Yang jelas partai itu akan kehilangan satu suara dalam pileg atau pilpres nanti, sekurang-kurangnya saya.
Masih cukup waktu untuk tidak melakukan blunder apa pun di masa-masa “injury time” untuk PILEG maupun PILPRES nanti. Marilah para capres dan partai peserta pemilu untuk berkompetisi secara sehat.
Rudi Tamrin (Jalan Keluar, the art of self management to Hexagonalife Balance).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H