Pendahuluan: Pejabat di Indonesia vs. Jepang
Di Indonesia, ketika seorang bawahan melakukan kesalahan yang merugikan publik, sering kali yang terjadi adalah drama panjang. Ada yang berusaha menghindari tanggung jawab dengan alasan administratif, menyalahkan faktor eksternal, atau sekadar memberikan pernyataan normatif seperti “akan dievaluasi” tanpa ada tindakan nyata. Bahkan, tidak jarang pejabat yang seharusnya bertanggung jawab justru berlindung di balik aturan birokrasi, mencari celah hukum, atau menggunakan pengaruh politik untuk tetap bertahan.
Fenomena ini bukan hal baru. Dalam berbagai skandal, kita sering melihat para pejabat tinggi tetap berada di posisinya meskipun jelas ada pelanggaran serius dalam institusinya. Mereka jarang mundur, kecuali tekanan publik dan politik begitu kuat hingga tidak ada pilihan lain. Bahkan dalam beberapa kasus, pejabat yang terjerat kasus hukum masih bisa kembali menduduki jabatan strategis setelah menyelesaikan masa hukuman.
Sebaliknya, di Jepang, situasi seperti ini justru sering berakhir dengan pengunduran diri seorang pemimpin. Tidak peduli apakah kesalahan itu dilakukan langsung oleh mereka atau oleh bawahannya, seorang pemimpin di Jepang cenderung merasa bertanggung jawab secara moral dan memilih mundur sebagai bentuk permintaan maaf. Dalam banyak kasus, pengunduran diri bukan hanya dilakukan oleh pejabat publik, tetapi juga eksekutif perusahaan, pejabat militer, hingga kepala sekolah.
Pengunduran diri ini bukan sekadar formalitas, melainkan mencerminkan nilai budaya yang sangat mengakar dalam masyarakat Jepang, yaitu "meiwaku" dan "sekinin". Dalam budaya Jepang, kegagalan bawahan adalah kegagalan pemimpin, dan kehilangan kepercayaan publik merupakan sesuatu yang harus ditebus dengan tindakan nyata—salah satunya dengan mengundurkan diri.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendalam: Mengapa pejabat di Jepang rela mundur demi tanggung jawab moral, sementara di Indonesia banyak yang tetap bertahan meskipun jelas-jelas melakukan kesalahan?
Jawabannya tidak hanya terletak pada sistem hukum atau politik, tetapi juga pada perbedaan nilai budaya, konsep kepemimpinan, dan cara masyarakat memandang kehormatan serta tanggung jawab.
Meiwaku: Jangan Menyusahkan Orang Lain
Salah satu nilai fundamental dalam budaya Jepang adalah meiwaku (迷惑), yang berarti "menyusahkan orang lain." Dalam masyarakat Jepang, menjaga harmoni sosial adalah hal yang sangat penting, dan segala sesuatu yang dapat mengganggu keseimbangan ini dianggap sebagai tindakan yang tidak bertanggung jawab.
Dalam konteks kepemimpinan, seorang pemimpin yang membiarkan bawahannya melakukan kesalahan dianggap telah menciptakan meiwaku bagi publik. Kesalahan yang mencoreng nama institusi bukan hanya merugikan individu yang terlibat, tetapi juga mempermalukan organisasi secara keseluruhan. Oleh karena itu, sebagai bentuk rasa hormat dan tanggung jawab, pemimpin di Jepang lebih memilih mundur daripada terus bertahan dan menjadi beban bagi institusi.
Sikap ini dapat kita lihat dalam berbagai kasus di Jepang. Salah satu contoh yang menarik adalah kasus Seiji Maehara, Menteri Transportasi Jepang pada tahun 2011. Ia mengundurkan diri setelah terungkap bahwa ia menerima donasi sebesar 250.000 yen (sekitar Rp30 juta saat itu) dari seorang warga negara Korea Selatan yang tinggal di Jepang. Jumlah ini sebenarnya relatif kecil, dan Maehara sendiri mengaku tidak mengetahui bahwa donatur tersebut adalah warga negara asing, yang dalam hukum Jepang dilarang memberikan sumbangan politik. Namun, bagi Maehara, tetap menjabat setelah skandal ini adalah tindakan yang tidak terhormat, sehingga ia memilih untuk mundur sebagai bentuk pertanggungjawaban moral.