Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Advokat - Jurnalis

Menulis apa saja yang mungkin dan bisa untuk ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Mengakhiri Korupsi di BUMN : Saatnya Transparansi dalam Pengangkatan Pejabat

17 Maret 2025   19:28 Diperbarui: 17 Maret 2025   19:48 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (Suara Aspirasi)

BUMN: Mesin Ekonomi atau Sarang Korupsi?

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) didirikan dengan misi besar: mengelola aset strategis negara demi kesejahteraan rakyat. Di banyak negara, BUMN berperan sebagai motor penggerak ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan memastikan distribusi sumber daya berjalan adil. Namun, di Indonesia, BUMN justru sering kali menjadi episentrum skandal korupsi, kolusi, dan nepotisme. Alih-alih berfungsi sebagai instrumen pembangunan nasional, banyak BUMN berubah menjadi arena transaksi politik dan bisnis gelap yang menguntungkan segelintir elite.

Kasus demi kasus yang mencuat di berbagai BUMN menampilkan pola yang berulang: direksi dan komisaris diangkat bukan karena kompetensi, melainkan karena kedekatan dengan lingkaran kekuasaan. Dari PT Pertamina yang kerap tersandung kasus dugaan korupsi pengadaan minyak dan gas, PT PLN yang didera skandal proyek listrik, hingga PT Timah yang diduga mengalami kebocoran tata niaga, semuanya menunjukkan satu benang merah: absennya transparansi dalam proses pengangkatan pejabat BUMN.

Di balik kemegahan gedung-gedung perusahaan pelat merah, di balik jargon transformasi dan modernisasi yang terus digaungkan, tersimpan masalah mendasar yang belum terselesaikan: siapa sesungguhnya yang mengendalikan BUMN? Apakah perusahaan-perusahaan ini beroperasi untuk kepentingan rakyat, atau sekadar menjadi ladang bisnis bagi segelintir elite yang memiliki akses politik?

Akibat dari tata kelola yang buruk ini, dampaknya begitu nyata di masyarakat. Kebocoran keuangan terus terjadi, proyek-proyek strategis dikuasai oleh kelompok tertentu, sementara layanan publik tetap jauh dari harapan. Harga BBM naik tanpa mekanisme subsidi yang jelas, tarif listrik terus membebani rumah tangga, dan industri transportasi nasional tidak kunjung membaik.

Ironisnya, dalam banyak kasus, sulit menjerat pelaku utama di balik kerusakan sistemik ini. Para pejabat yang diangkat atas dasar koneksi politik sering kali kebal hukum, atau jika pun terseret ke pengadilan, mereka memiliki jaringan kuat yang dapat melindungi mereka. Sementara itu, masyarakat hanya bisa menjadi saksi dari kegagalan demi kegagalan dalam pengelolaan aset negara.

Mengapa BUMN begitu rentan terhadap korupsi? Mengapa setiap pergantian pemerintahan selalu diikuti dengan pergantian pejabat di perusahaan negara, yang tak jarang berujung pada penyalahgunaan wewenang? Jawabannya ada pada satu faktor utama: sistem pengangkatan pejabat yang tidak transparan dan terlalu dipengaruhi oleh kepentingan politik.

Selama BUMN masih menjadi alat transaksi politik, selama pejabatnya diangkat bukan karena kapabilitas tetapi karena afiliasi, maka korupsi akan terus menggerogoti perusahaan-perusahaan negara. Maka, pertanyaannya kini bukan lagi apakah BUMN akan terus dirundung masalah, tetapi sejauh mana kita bisa mengubah sistem agar perusahaan milik negara benar-benar bekerja untuk rakyat, bukan untuk kepentingan elite politik.

Saatnya kita menggugat dan menuntut perubahan. Jika tidak, maka BUMN akan terus menjadi sarang korupsi yang merugikan bangsa, alih-alih menjadi pilar utama pembangunan ekonomi nasional.

Pejabat BUMN: Loyal kepada Negara atau Kepentingan Politik?

Di negara yang demokratis, seharusnya pejabat di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dipilih berdasarkan kompetensi, pengalaman, dan rekam jejak yang jelas. Namun, di Indonesia, realitasnya jauh dari ideal. Jabatan di BUMN kerap kali diberikan kepada individu yang memiliki koneksi politik, bukan kepada mereka yang memiliki keahlian di bidang industri yang mereka kelola.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun