Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat - Jurnalis

Alamat Jln. Tj, Jepara No.22 Kota Luwuk Kab. Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ternyata Aku Keliru

15 Januari 2025   20:01 Diperbarui: 15 Januari 2025   20:01 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kusentuh laut biru yang membentang
Ku kira ia akan membebaskan dari derita 
Namun ombaknya menggulung tak terduga
Ternyata aku keliru menilai kebebasan
Samudra itu menelan semua yang lemah
Dan aku hanyalah buih yang mudah pecah.

Kutemukan bunga di sudut jalan
Ku kira ia tumbuh dari tanah impian
Namun akarnya mencengkeram di kesedihan
Ternyata aku keliru membaca kehidupan
Setiap keindahan menyimpan luka tersembunyi
Yang hanya terlihat oleh mata yang mendalami.

Kuraih pelangi di langit yang redup
Ku kira ia hadiah setelah hujan hidup
Namun warnanya memudar dalam senja
Ternyata aku keliru mengira keabadian
Segala yang indah datang untuk berlalu
Hanya kenangan yang tetap tinggal di waktu.

Kubuka pintu pada setiap peluang
Ku kira di baliknya ada kebahagiaan panjang
Namun yang kutemui hanyalah jalan buntu
Ternyata aku keliru menilai takdirku
Setiap pilihan membawa beban tersendiri
Yang tak selalu ringan untuk dipikul hati.

Kusandarkan tubuh pada dinding kokoh
Ku kira ia takkan goyah oleh waktu
Namun retak-retak mulai nampak
Ternyata aku keliru memilih sandaran
Kekokohan hanyalah ilusi sementara
Yang rapuh oleh gelombang ujian hidup.

Kubisikkan doa dalam malam penuh harap
Ku kira jawabannya datang secepat kilat
Namun langit tetap sunyi tanpa suara
Ternyata aku keliru memahami sabar
Doa adalah proses yang membutuhkan waktu
Bukan sihir yang terjadi dalam satu detik.

Kuterangi langkah dengan lentera kecil
Ku kira cahayanya cukup hingga akhir
Namun ia padam oleh angin yang datang
Ternyata aku keliru menilai kekuatan
Cahaya kecil perlu perlindungan besar
Agar mampu bertahan di tengah badai.

Kunikmati hujan dengan jiwa terbuka
Ku kira ia membawa berkah tanpa cela
Namun genangan menenggelamkan langkahku
Ternyata aku keliru menilai derasnya
Hujan adalah ujian yang harus diterima
Dengan payung kesabaran yang tak tergoyah.

Kuraih tangan seseorang di persimpangan
Ku kira ia teman yang setia berjalan
Namun genggamannya terasa dingin
Ternyata aku keliru memilih kawan
Persimpangan ini menuntutku untuk sendiri
Bukan menggantungkan langkah pada orang lain.

Kukunci pintu pada keraguan yang datang
Ku kira dengan itu, aku menjadi tenang
Namun suara ketukan tetap menggema
Ternyata aku keliru menghindari rasa
Keraguan adalah bagian dari perjalanan
Yang mengajari aku arti kejujuran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun