Mengakui kesalahan sering kali dianggap sebagai kelemahan dalam banyak budaya. Namun, Jepang memandang keberanian ini sebagai tanda kedewasaan, tanggung jawab, dan integritas. Dalam hansei, seseorang yang berani mengakui kesalahan tidak hanya menunjukkan rasa tanggung jawab, tetapi juga komitmen untuk memperbaiki situasi.
Seorang pemimpin perusahaan Jepang yang terkenal dengan keberanian mengakui kesalahannya adalah Akio Toyoda, CEO Toyota. Ketika perusahaan menghadapi krisis besar akibat cacat produksi pada tahun 2009, Toyoda secara terbuka meminta maaf di depan kongres Amerika Serikat. Ia mengakui kesalahan perusahaan, menjelaskan langkah perbaikan yang akan diambil, dan berjanji untuk memastikan hal serupa tidak terjadi lagi. Tindakan ini tidak hanya memulihkan kepercayaan publik terhadap Toyota tetapi juga menunjukkan standar tinggi integritas dalam kepemimpinan.
Mengakui kesalahan bukanlah tanda kelemahan, melainkan kekuatan. Hal ini membantu membangun kepercayaan, baik dalam hubungan pribadi maupun profesional.
2. Belajar dari Kesalahan
Dalam hansei, mengakui kesalahan hanyalah langkah pertama. Langkah berikutnya adalah menganalisis kegagalan secara mendalam untuk memahami akar masalah. Proses ini memastikan bahwa kesalahan tidak diulang dan menjadi landasan untuk perbaikan di masa depan.
Toyota, sebagai salah satu perusahaan yang terkenal dengan penerapan hansei, sering mengadakan sesi refleksi yang disebut "hansei-kai" setelah menyelesaikan proyek. Dalam sesi ini, tim kerja mendiskusikan apa yang berjalan dengan baik dan apa yang perlu diperbaiki. Misalnya, jika ada keterlambatan dalam produksi, mereka akan mencari tahu apakah itu disebabkan oleh kurangnya koordinasi antar-departemen atau kurangnya pelatihan pada karyawan.
Melalui analisis ini, perusahaan dapat mengidentifikasi solusi yang konkret, seperti meningkatkan komunikasi atau memberikan pelatihan tambahan. Pendekatan ini telah membantu Toyota mempertahankan posisinya sebagai salah satu pemimpin industri otomotif global.
Setiap kesalahan adalah kesempatan untuk belajar. Dengan menganalisis kegagalan secara mendalam, kita dapat memahami penyebabnya dan mencegah terulangnya masalah serupa.
3. Mengambil Tindakan Perbaikan
Hansei tidak hanya berhenti pada refleksi dan pembelajaran. Langkah terakhir yang paling penting adalah mengambil tindakan nyata untuk memperbaiki diri. Tanpa tindakan, refleksi hanya akan menjadi wacana kosong yang tidak memberikan perubahan apa pun.
Seorang guru di Jepang yang menerapkan hansei dalam mengelola kelasnya pernah menghadapi masalah dengan siswa yang kurang disiplin. Setelah merenungkan penyebabnya, ia menyadari bahwa metode pengajarannya terlalu monoton dan tidak menarik bagi siswa. Sebagai tindak lanjut, ia memutuskan untuk mengubah pendekatannya dengan menggunakan metode pembelajaran yang lebih interaktif, seperti diskusi kelompok dan permainan edukatif.