Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat - Jurnalis

Alamat Jln. Tj, Jepara No.22 Kota Luwuk Kab. Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Yang Tersisa Hanya Luka dan Dusta

14 Desember 2024   11:20 Diperbarui: 14 Desember 2024   11:20 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yang Tersisa Hanya Luka dan Dusta

Dalam bayang senja yang memudar,
Tertinggal luka yang tak lagi sadar.
Janji menguap di angin yang berhembus,
Dusta menyelimuti cinta yang tergerus.

Dulu, ada tawa yang menyatu indah,
Kini berganti tangis di antara gundah.
Cinta yang teguh bak karang di laut,
Luruh perlahan, terhempas ribut.

Bintang malam yang dulu menyapa hangat,
Kini redup, tak lagi dekat.
Dalam pelukan angan yang kau beri,
Hanya tersisa perih, tak lagi suci.

Kata-kata manis yang kau ucap dulu,
Kini bergema bagai racun yang kaku.
Aku mencari makna di balik senyummu,
Namun hanya dusta yang kutemui di situ.

Waktu berlalu, namun luka tetap ada,
Menggores hati dengan rasa tersiksa.
Harapan yang dulu jadi api penerang,
Kini padam, tersapu gelombang.

Apakah cinta adalah permainan hati?
Atau hanya jebakan janji yang kau beri?
Aku bertanya pada malam yang bisu,
Mengapa luka ini tak juga berlalu?

Angin membawa sisa aroma janji,
Namun berubah tajam, bagai belati.
Aku ingin lari dari bayang dirimu,
Namun luka dan dusta terus mengikutiku.

Kau pergi membawa cerita yang fana,
Meninggalkan aku di tepi gulana.
Langkahmu menjauh tanpa kata,
Meninggalkan hati yang penuh derita.

Hujan turun, mencoba menghapus dosa,
Namun tak mampu menyentuh luka.
Dalam setiap tetes, ada kenangan,
Namun juga dusta yang tak termaafkan.

Di antara reruntuhan janji yang meluka,
Ada kenangan yang enggan sirna.
Meski hati telah lelah bertahan,
Bayang dusta tetap menjelma teman.

Aku mencoba bicara pada sepi,
Namun ia hanya tertawa sinis di tepi.
Dalam diam, ia membawa cerita,
Tentang cinta yang sirna bersama dusta.

Adakah pelipur bagi luka yang dalam?
Ataukah hanya waktu yang membuatnya tenggelam?
Aku mencari jawab di balik kabut,
Namun hanya pedih yang terus menyambut.

Hingga pada akhir perjalanan sunyi,
Aku sadar, luka ini takkan mati.
Namun dari serpihannya, aku belajar,
Menganyam kembali hati yang hancur tak wajar.

Aku menatap langit yang kelam,
Mencari jawab di bintang yang tenggelam.
Namun hanya hampa yang kujumpa,
Seperti cinta kita yang kini sirna.

Adakah cara untuk melupakan?
Ketika luka terus meneriakkan kenangan?
Aku ingin bebas dari rantai ini,
Namun dusta tak mau pergi.

Waktu, ajariku untuk berdamai,
Meski luka ini tak pernah usai.
Bimbing aku pada jalan yang terang,
Agar tak lagi terjebak dalam bayang-bayang.

Hingga suatu hari di penghujung kisah,
Aku akan mengenang tanpa rasa lelah.
Meski luka dan dusta tetap tersisa,
Aku ingin kembali temukan makna.

Yang tersisa kini adalah pelajaran,
Tentang cinta yang rapuh dalam kepalsuan.
Meski hati ini pernah remuk dan hampa,
Aku percaya, harapan tak pernah sirna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun