Aku mencoba bicara pada sepi,
Namun ia hanya tertawa sinis di tepi.
Dalam diam, ia membawa cerita,
Tentang cinta yang sirna bersama dusta.
Adakah pelipur bagi luka yang dalam?
Ataukah hanya waktu yang membuatnya tenggelam?
Aku mencari jawab di balik kabut,
Namun hanya pedih yang terus menyambut.
Hingga pada akhir perjalanan sunyi,
Aku sadar, luka ini takkan mati.
Namun dari serpihannya, aku belajar,
Menganyam kembali hati yang hancur tak wajar.
Aku menatap langit yang kelam,
Mencari jawab di bintang yang tenggelam.
Namun hanya hampa yang kujumpa,
Seperti cinta kita yang kini sirna.
Adakah cara untuk melupakan?
Ketika luka terus meneriakkan kenangan?
Aku ingin bebas dari rantai ini,
Namun dusta tak mau pergi.
Waktu, ajariku untuk berdamai,
Meski luka ini tak pernah usai.
Bimbing aku pada jalan yang terang,
Agar tak lagi terjebak dalam bayang-bayang.
Hingga suatu hari di penghujung kisah,
Aku akan mengenang tanpa rasa lelah.
Meski luka dan dusta tetap tersisa,
Aku ingin kembali temukan makna.
Yang tersisa kini adalah pelajaran,
Tentang cinta yang rapuh dalam kepalsuan.
Meski hati ini pernah remuk dan hampa,
Aku percaya, harapan tak pernah sirna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H