Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat - Jurnalis

Alamat Jln. Tj, Jepara No.22 Kota Luwuk Kab. Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Teguran Angin yang Murka

13 Desember 2024   20:06 Diperbarui: 13 Desember 2024   20:06 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Angin Murka (dibuat memakai DALL-E Open AI)

Teguran Angin yang Murka

Di senja yang muram, angin berhembus keras,
Menggulung debu dari tanah yang tandus.
Tak lagi ia lembut, membawa kesejukan,
Kini ia murka, menyuarakan kehancuran.

Hutan yang dulu rimbun kini tandus,
Daun-daun gugur, suara burung terhapus.
Angin berteriak, "Siapa yang mengoyak?
Tangan serakah, kau perusak semesta yang megah!"

Di sungai yang mengalir, ia membawa bau,
Limbah meracuni, ikan-ikan mati tanpa tahu.
"Air yang kubawa kini hitam pekat,
Karena rakusmu, dunia jadi cacat."

Gunung-gunung yang gagah berdiri,
Terkikis tambang, meleleh dalam api.
Angin menjerit di lereng yang runtuh,
"Kau gali nyawaku, kapan kau cukup?"

Langit yang biru berubah kelabu,
Asap menari, menutup pemandangan dulu.
Angin memutar, mengirim badai besar,
"Ini teguranku, jangan kau abaikan sadar."

Ladang hijau kini jadi beton kelabu,
Angin berdesir di antara gedung-gedung bisu.
"Di mana sawahmu? Di mana pohon rindang?
Kau tukar semuanya demi emas yang terbuang."

Di pantai sunyi, ombak tak lagi ramah,
Plastik dan sampah menenggelamkan indah.
Angin membawa bau asin yang pahit,
"Beginikah caramu menghormati laut yang suci?"

Kini ia menyapu, badai tak tertahan,
Membalas semua luka yang ditanam insan.
Angin tak lagi diam, ia mengamuk marah,
"Dengar pesanku sebelum semua musnah!"

Namun manusia tetap saja tuli,
Melangkah rakus, menciptakan tragedi.
Angin terus murka, tak henti berseru,
"Jika kau tak berubah, tak ada yang tersisa untukmu."

Ia meniupkan dahan-dahan rapuh,
Menggugah hati yang mulai kalut dan rusuh.
Namun apakah pesan ini akan didengar,
Atau hanya berlalu seperti debu yang berserak?

Angin berputar di lembah dan puncak,
Menyuarakan amarah di tengah gemerlap.
"Bumi tak butuh kau, wahai manusia,
Namun kaulah yang butuh bumi untuk selamanya."

Ia menjadi saksi atas kehancuran,
Menatap alam yang hancur berkeping-keping.
"Teguran ini bukan ancaman belaka,
Namun peringatan sebelum semuanya binasa."

Lupa kah  kau air bah kemarin, itu teguran,
Saat bumi menjerit dalam kepedihan.
Namun kau abaikan, terus menggali,
Tak belajar dari luka yang mengaliri.

Ingatkah kau sampar yang menyerangmu tahun lalu, itu akibat,
Keserakahanmu yang merusak habitat.
Angin membawa derita tanpa jeda,
Menghukummu atas tamak yang membara.

Sadarkah kau akan panen yang gagal bulan lalu, itu pertanda,
Tanah yang kau rusak mulai enggan bersahaja.
Ia tak lagi subur, lelah memberi,
Namun kau terus memaksa tanpa peduli.

Dalam murkanya, angin tetap berharap,
Bahwa keserakahan manusia akan berhenti sekejap.
Namun jika rakus terus merajalela,
Angin akan kembali, membawa murka yang sempurna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun