Angin berputar di lembah dan puncak,
Menyuarakan amarah di tengah gemerlap.
"Bumi tak butuh kau, wahai manusia,
Namun kaulah yang butuh bumi untuk selamanya."
Ia menjadi saksi atas kehancuran,
Menatap alam yang hancur berkeping-keping.
"Teguran ini bukan ancaman belaka,
Namun peringatan sebelum semuanya binasa."
Lupa kah  kau air bah kemarin, itu teguran,
Saat bumi menjerit dalam kepedihan.
Namun kau abaikan, terus menggali,
Tak belajar dari luka yang mengaliri.
Ingatkah kau sampar yang menyerangmu tahun lalu, itu akibat,
Keserakahanmu yang merusak habitat.
Angin membawa derita tanpa jeda,
Menghukummu atas tamak yang membara.
Sadarkah kau akan panen yang gagal bulan lalu, itu pertanda,
Tanah yang kau rusak mulai enggan bersahaja.
Ia tak lagi subur, lelah memberi,
Namun kau terus memaksa tanpa peduli.
Dalam murkanya, angin tetap berharap,
Bahwa keserakahan manusia akan berhenti sekejap.
Namun jika rakus terus merajalela,
Angin akan kembali, membawa murka yang sempurna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H