Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat - Jurnalis

Alamat Jln. Tj, Jepara No.22 Kota Luwuk Kab. Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dengarlah Keluhan Alam

11 Desember 2024   12:41 Diperbarui: 11 Desember 2024   12:41 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
5 Dampak kerusakan alam (Bola.com)

Dengarlah Keluhan Alam

Aku adalah sungai yang dulu membawa kehidupan, mengalir jernih dari pegunungan hingga ke lautan, menjadi sumber air bagi manusia, hewan, dan tumbuhan. Namun kini, tubuhku penuh luka akibat ulah kalian yang membuang limbah dan sampah sembarangan, mencemari setiap tetes airku. Plastik-plastik yang menyumbat aliranku, limbah beracun yang meracuni dasarku, dan pasir yang terus kalian tambang tanpa ampun membuatku kehilangan kekuatan untuk memberi kehidupan. Ikan-ikan yang dulu berenang lincah kini mati, tumbuhan di tepianku layu, dan banjir datang sebagai tangisanku yang meluap karena tak sanggup lagi menahan beban ini. Aku ingin kembali menjadi sumber kehidupan, tetapi aku tak bisa melakukannya sendiri; aku butuh kalian untuk berhenti merusak dan mulai merawat, sebelum aku mati dan kalian kehilangan segalanya.

Awan menggulung di langit kelabu, murka pada ulah manusia. “Aku dulu adalah pembawa harapan,” katanya sambil menggelegar. “Hujan yang kuturunkan menghidupi ladangmu, mengisi sungai-sungai, menyegarkan udara. Namun kini, kalian penuhi udara dengan polusi, membuatku mengandung racun. Hujan yang turun dariku tak lagi menyejukkan, melainkan mencemari. Petirku bukan hanya peringatan, tetapi tangisan pilu yang tersisa.”

Di dalam hutan yang tersisa, pohon tua berderak sedih. “Akar-akarku dulu menguatkan bumi,” katanya pelan, seperti berbisik di antara ranting-rantingnya yang layu. “Daunku memurnikan udara, memberikan oksigen untuk setiap makhluk bernapas. Namun apa balasan kalian? Kalian tebang tubuhku tanpa ampun, membakar hutan tempatku tinggal, dan mengubahnya menjadi lahan kosong. Aku menangis dalam diam saat melihat burung-burung kehilangan sarangnya dan tanah kehilangan kesuburannya.”

Di dasar laut yang semakin keruh, ikan berteriak dengan getir. “Dulu, laut adalah rumahku yang damai. Airnya jernih, dipenuhi kehidupan yang beragam. Tapi kini, kalian mencemarinya dengan limbah plastik, minyak, dan bahan kimia. Teman-temanku mati lemas karena tak bisa bernapas di air yang tercemar. Jaring-jaring besar kalian merenggut kami tanpa ampun, memisahkan kami dari keluarga dan tempat kami bertahan hidup.”

Di taman yang dulu indah, bunga mengeluh dengan nada pilu. “Warnaku cerah, harumnya semerbak, semua demi mempercantik duniamu. Namun kini, aku semakin jarang mekar. Tanah tempatku tumbuh penuh dengan racun, air yang menyirami penuh polutan, dan matahari yang dulu hangat kini menjadi terik yang membakar. Akankah keindahanku hanya tinggal kenangan?”

Kupu-kupu beterbangan dengan lesu di atas ladang yang gundul. “Aku membawa pesan kehidupan, dari bunga ke bunga, menyuburkan alam dengan caraku. Namun sekarang, tak ada lagi bunga yang tersisa untuk kuhampiri. Racun pestisida membunuh saudara-saudaraku, dan ladang yang hijau berubah menjadi beton keras. Kekecewaanku tak bisa terbang tinggi lagi, karena dunia kalian tak lagi ramah bagi sayap-sayap kecilku.”

Gunung berdiri kokoh, tetapi getarannya menyimpan murka. “Dulu aku adalah pelindungmu, penyimpan kekayaan alam yang tak ternilai. Tapi kalian mencabik-cabik tubuhku demi emas, batu bara, dan bahan tambang lainnya. Aku gemetar, bukan karena kekuatan, tetapi karena derita yang semakin dalam. Bila aku meletus, itu bukan karena aku ingin, melainkan karena kalian memaksaku.”

Sungai yang mengalir kini terdengar merintih. “Airku adalah sumber kehidupan, mengalir dari gunung ke lautan, membawa kesegaran. Tapi sekarang, aku menjadi selokan kotor, penuh sampah dan limbah. Ikan-ikan yang dulu berenang bebas kini mati mengambang, dan bibir sungai yang dulu hijau kini gersang. Aku ingin kembali bersih, tapi ulah kalian terus mencemarku.”

Tanah menggerutu dari bawah pijakan manusia. “Aku yang memberi kalian makanan, tempat tinggal, dan kehidupan. Namun apa balasannya? Kalian meracuni tubuhku dengan pupuk kimia, mencemari kedalamanku dengan limbah, dan menggunduli lapisanku. Aku semakin tandus, tak lagi bisa memberi seperti dulu. Kalian memaksaku menjadi lahan mati.”

Tetes-tetes hujan turun dengan kesedihan yang mendalam. “Aku datang membawa berkah, menyirami ladang dan memenuhi sungai. Namun kini, kehadiranku sering ditakuti, karena banjir mengiringiku. Bukannya aku yang berubah, tetapi kalian yang merusak keseimbangan. Airku tak bisa meresap karena tanah telah kehilangan kemampuannya.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun