Pengantar
Beberapa hari lalu, Â masyarakat Indonesia dikejutkan oleh pernyataan kontroversial yang melibatkan pejabat publik. Utusan Khusus Presiden, Gus Miftah, menuai kritik setelah melontarkan candaan yang dianggap merendahkan profesi penjual es teh di sebuah pengajian. Tak bisa membendung desakan mundur dari warga, akhirnya hari ini (6/12/2024), resmi menyatakan pengunduran diri selaku Utusan Khusus Presiden.
Tak lama berselang, Juru Bicara Kepresidenan menggunakan istilah "rakyat jelata" yang dinilai merendahkan martabat masyarakat biasa. Reaksi keras, baik dari publik maupun netizen, menunjukkan bahwa komunikasi publik tidak lagi sekadar menyampaikan pesan, tetapi juga menyentuh dimensi etika, kepekaan sosial, dan penghormatan terhadap martabat audiens.
Kasus-kasus ini menjadi cerminan bahwa di era digital, setiap kata yang diucapkan oleh pejabat publik dapat berdampak luas. Bukan hanya memengaruhi reputasi pribadi, tetapi juga kepercayaan terhadap institusi negara. Dalam konteks ini, etika komunikasi publik menjadi lebih relevan dari sebelumnya. Artikel ini akan mengulas pengertian, dasar-dasar, teori, implikasi, dan langkah-langkah yang harus diperhatikan dalam komunikasi publik yang beretika.
Apa Itu Etika Komunikasi Publik?
Etika komunikasi publik adalah pedoman moral dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat luas. Menurut ahli komunikasi James W. Carey, komunikasi bukan sekadar penyampaian pesan, tetapi juga proses pembentukan makna yang melibatkan nilai-nilai moral. Dalam konteks pejabat publik, komunikasi yang etis berarti menghormati hak masyarakat untuk menerima informasi yang jujur, transparan, dan tidak merendahkan.
Etika ini penting untuk menjaga hubungan antara pemerintah dan rakyat agar tetap harmonis. Ketika pejabat publik berbicara, mereka tidak hanya menyampaikan pendapat pribadi tetapi juga membawa tanggung jawab institusi yang mereka wakili.
Dasar-Dasar Etika Komunikasi Publik
1. Kebenaran
Kebenaran adalah inti dari komunikasi publik. Mengutip filosofi Kantian, "kejujuran adalah kewajiban mutlak." Pejabat publik harus menghindari penyebaran informasi yang menyesatkan, bahkan jika tujuan komunikasi adalah untuk menenangkan suasana. Dalam era digital, hoaks atau distorsi fakta dapat dengan cepat memicu keresahan sosial.
2. Transparansi