Lihatlah amarah di langit, berkobar merah,
Awan kelabu bagaikan duka yang menjerah.
Hujan tumpah tak lagi membawa berkah,
Melainkan banjir yang menelan rumah.
Gunung-gunung mendidih dengan getir,
Lahar mengalir menghancurkan alir.
Bumi bergetar, marah yang tak terkendali,
Memekikkan dendam pada manusia yang lalai.
Hutan yang hijau berubah kelabu,
Dibakar serakah, hilang semua hayat baru.
Sungai-sungai menjadi kubangan limbah,
Ikan-ikan mati, tak ada tempat berpindah.
Langit pun meradang dalam debu tebal,
Menutupi mentari, mengurung akal.
Burung-burung hilang arah,
Hilang tempat berpijak di sarang yang pasrah.
Angin tak lagi membisik lembut,
Kini ia mengamuk membawa maut.
Topan mengayun, badai menyapu,
Meruntuhkan kota, menumbangkan pohon yang rapuh.
Laut yang biru memuntahkan isinya,
Gelombang tinggi menghantam manusia.
Plastik dan racun yang kau titipkan,
Kini kembali sebagai ancaman.
Langkahmu yang rakus merusak tanah,
Meninggalkan retak yang penuh amarah.
Tanah longsor, bukit runtuh,
Alam menangis, harapan surut.
Lihatlah burung-burung yang pergi jauh,
Karena sarang mereka lenyap dan runtuh.
Ranting-ranting kering menangis bisu,
Bertanya pada angin, apa salahku?
Langit tak lagi diam dalam kehinaan,
Ia murka pada ulah tangan manusia.
Hawa panas memeluk bumi tanpa jeda,
Menelan musim dalam dahaga.
Wahai manusia, kapan kau sadar?
Bahwa alam ini bukanlah budak yang sabar.
Ia punya nyawa, punya cinta,
Namun ia juga punya kuasa yang nyata.