Debu zaman menari di udara,
Dibawa badai yang tak kenal suara.
Mengoyak tenang, menggulung sunyi,
Menciptakan riuh di hati yang letih.
Angin berteriak, menghantam jiwa,
Debu berputar, menutup cahaya.
Langit kelam seakan menangis,
Menumpahkan luka yang terasa tragis.
Di tengah badai, sejarah terukir,
Dengan tinta luka yang sulit dikikir.
Debu membawa pesan yang samar,
Tentang hidup yang rapuh, getir dan tawar.
Ada kisah cinta di butir yang terbang,
Ada perang di pasir yang hilang.
Kita semua adalah saksi bisu,
Yang tersapu dalam arus waktu.
Badai ini tak hanya menghempas,
Ia menghapus jejak yang terjepas.
Siapa yang tahu, siapa yang peduli,
Saat debu zaman tak lagi berarti?
Namun di sela kekacauan yang riuh,
Ada nyala kecil, menembus gaduh.
Cahaya harapan, meski redup sinarnya,
Tetap menggugah hati yang percaya.
Debu zaman, wahai saksi abadi,
Maukah kau mengisahkan lagi?
Tentang harapan yang terjalin di kelam,
Tentang manusia yang terus bertahan.
Di tengah badai yang tak berkesudahan,
Kita berdiri dengan genggam harapan.
Menyeka debu yang menutup pandang,
Mencari jalan untuk pulang.
Badai boleh menggulung kita semua,
Tapi debu zaman tetap bercerita.
Bahwa di balik kehancuran yang nyata,
Ada kekuatan yang tak pernah sirna.
Oh, debu zaman, ajarilah kami,
Tentang makna bertahan di badai ini.
Tentang bagaimana mencipta damai,
Saat dunia terpuruk dalam rusuh dan lalai.