Seperti api yang menyala dalam dada,
Melihatmu termenung seorang diri.
Ada tanya yang tak terjawab,
Ada rasa yang tak terucap,
Mengapa engkau tersenyum saat aku tak hadir?
Adakah wajah lain yang kau ingat,
Ataukah hanya bayanganku yang berkelana?
Panasnya cemburu membakar sekujur jiwa,
Menyulut bara di relung-relung hati,
Aku berdiri mematung dalam sepi,
Mencoba mencari makna senyummu yang sembunyi.
Akupun sadar...
Cemburu ini mengiris seperti pisau tajam,
Membelah harap yang kurangkai di malam sunyi,
Membuatku resah, gelisah,
Seakan kehilangan arah.
Di sudut kamar aku termenung,
Meresapi sakit yang tak beralasan,
Melihat bayangmu berlalu tanpa sapa,
Dan aku terjebak dalam angan-angan yang salah.
Kau tersenyum di kejauhan sana,
Tanpa tahu hatiku terpanggang api cemburu,
Setiap gerakmu, setiap lirikan matamu,
Seakan pedang yang menusuk tanpa ampun.
Mengapa tak bisa kuredam rasa ini?
Mengapa cinta selalu hadir bersama cemburu?
Aku tersiksa oleh pikiranku sendiri,
Membayangkan engkau bersama yang lain.
Dalam renungan aku terpuruk,
Melihatmu menghindar dari tatapanku,
Aku merasakan api membakar dada,
Ketika kau memilih diam tanpa kata.
Apakah cintaku begitu lemah,
Hingga hanya secuil perhatianmu yang membuatku gusar?
Apakah aku yang terlalu mencintaimu,
Atau kau yang tak lagi merindukanku?
Hatiku rapuh, terombang-ambing,
Api cemburu terus menyala,
Menghanguskan segala rasa yang tersisa,
Namun di balik nyeri ini, ada cinta yang setia.
Kuingin bertanya, namun aku takut,
Takut jawabanmu melukai lebih dalam,
Takut kau berkata bahwa hatimu telah berpaling,
Pada cinta yang bukan aku lagi.