Primadona Tanpa Panggung,
Di sudut malam yang senyap nan rawan,
Ada bayang wajah tanpa mahkota,
Bersolek indah, tapi tiada kawan,
Primadona tanpa panggung bercerita.
Bibirnya merah, senyum menggoda,
Sorot matanya memancarkan duka,
Di tengah keramaian ia terlena,
Namun hati sunyi dalam gelisah.
Bukan gemerlap lampu yang ia dambakan,
Bukan tepuk tangan yang dirindukan,
Hanya suara hati ingin diluapkan,
Pada dunia yang seakan melupakan.
Dulu ia dikenal, dielukan massa,
Menjadi bintang di segala pesta,
Kini ia hanyalah hiasan luka,
Primadona tanpa panggung yang tersisa.
Di balik layar, ia terperangkap,
Kenangan lama terus mengendap,
Tak ada janji atau tangis terjawab,
Hanya harapan yang terus merapat.
Wajahnya pudar oleh waktu,
Masa lalu yang tak kunjung berlalu,
Ia berdiri di tepi bayang rindu,
Menanti panggung yang tak pernah temu.
Kostum berdebu, namun jiwa membara,
Cita-cita yang dulu menyala,
Kini terkikis, redup perlahan,
Hanya sepi yang setia berteman.
Tiada sorak, tiada pujian,
Hanya sunyi dalam kesunyian,
Ia masih berdiri dalam kekosongan,
Menjadi primadona tanpa panggung kenyataan.
Terkadang ia tertawa sendiri,
Menghibur hatinya yang sepi,
Tersenyum meski tak ada yang peduli,
Pada cerita hidup yang sunyi.
Sehelai gaun, sepasang sepatu,
Dulu menghiasi panggung waktu,
Kini hanya kenangan berlalu,
Menyisakan jejak air mata yang bisu.
Di setiap langkah ia bertanya,
Kemana perginya masa bahagia?
Hanya angin yang menyapa mesra,
Menghibur duka yang tiada henti meronta.