Di langit senja yang membiru sendu,
Kupintal benang dari kesunyian kalbu,
Mencoba menjaring air mata yang jatuh perlahan,
Dari awan-awan kelabu yang menyimpan kesedihan.
Berhembus angin membawa rindu jauh,
Mengurai cerita yang tak pernah lusuh,
Kudengar bisikan dari langit yang mendung,
Menangis sunyi, seakan ingin berlabuh.
Di antara kilau petir yang sekejap lenyap,
Ada luka yang membekas, sulit terhapuskan,
Seperti tangis yang terpendam di balik senyum,
Menanti waktu untuk bebas, menetes perlahan.
Kuulurkan tangan, meraih yang tak terlihat,
Menjaring air mata di hamparan awan pekat,
Tetesan itu jatuh, membasuh bumi yang kering,
Menjadi hujan, menjadi doa, menjadi kenangan tak terbilang.
Saat rembulan perlahan muncul, sembunyi di balik kelabu,
Kutemui diriku dalam perasaan yang mengabu,
Menanti jawaban dari langit yang berbisik sunyi,
Seperti hati yang mengharap tanpa berani bersuara lagi.
Awan yang menangis adalah jiwa yang terluka,
Dalam setiap tetesnya, mengalir duka yang tak terkira,
Menjaring air mata yang turun di pelukan malam,
Mengalun sendu bersama bayangan yang tak bisa tenggelam.
Dalam senyap kupinta pada bintang yang jauh,
Agar menyampaikan rindu pada hati yang rapuh,
Meski tahu, di ujung malam yang pekat,
Hanya aku yang merasa getir sepi yang menggurat.
Mungkin, saat fajar tiba menyelimuti langit,
Awan akan reda, menghapus tangis yang sulit,
Namun untuk saat ini, biarkan aku tinggal di sini,
Menjaring air mata di awan, berbagi sunyi dengan mimpi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H