Di atas panggung sunyi, cerita terhenti,
Lampu redup, bayang-bayang sepi,
Tak ada kata, tak ada suara,
Hanya hening yang menggema, membisu.
Panggung itu luas, kosong terbentang,
Di sana hanya kesunyian yang menanti,
Pemainnya pergi, tak kembali,
Meninggalkan jejak di tanah yang terlupakan.
Lakon pun hilang, entah kemana,
Di balik tirai, mimpi terabaikan,
Tak ada kisah yang terucap lagi,
Hanya bayang-bayang yang menari-nari.
Mengapa sandiwara ini tak pernah usai?
Tanya hati yang terluka dalam diam,
Mengapa tak ada lakon yang dimainkan?
Apakah kita hanya pemain dalam kebingungan?
Wajah-wajah yang hilang dalam senja,
Berpindah dari satu lakon ke lakon lain,
Namun tak ada akhir, tak ada cerita,
Hanya kesendirian yang terus mengiringi.
Panggung ini hampa, tanpa peran,
Penonton pun pergi, tanpa jejak,
Apakah mereka menunggu, atau hanya berlalulalang?
Sandiwara ini tak tahu kapan berhenti.
Ada yang ingin bicara, namun bibir terkatup,
Ada yang ingin mendengar, namun telinga tertutup,
Sandiwara tanpa lakon ini berjalan tanpa arah,
Tanpa penonton, tanpa aktor, tanpa tujuan.
Tirai terangkat, namun tak ada yang muncul,
Setiap langkah terhenti, setiap suara terbenam,
Sandiwara ini bukan milik siapa-siapa,
Karena semua yang ada telah terlupakan.
Pemainnya bukan lagi manusia,
Tapi bayang yang melintas dalam kegelapan,
Satu peran, satu kehidupan yang tak pernah ada,
Terperangkap dalam waktu yang terus berputar.
Di tengah panggung kosong itu,
Hanya ada cermin yang memantulkan bayangan,
Bayangan yang tak pernah bertemu dengan kenyataan,
Yang berputar tanpa henti, tanpa tujuan.