Tangan yang mendidik kini terpasung,
Di balik tuduhan yang menyayat kalbu.
Lentera pengetahuan, padam terguncang,
Antara kebenaran dan tuduhan yang mengerang.
Dia yang menabur benih kebajikan,
Menuai badai yang tak terpikirkan.
Jerit kesunyian, lara tertahan,
Wajah teduh, dihukum zaman.
Adakah tempat bagi hati penuh kasih?
Ataukah hukum beku, tak pernah peduli?
Di mata yang bening, tersirat harap,
Namun suara dibungkam, tak terdengar serapah.
Mengajar bukan sekadar memberi,
Tapi juga menjaga, membentuk, dan melindungi.
Duka ini milik kita semua,
Saat yang benar terpaksa nestapa.
Di kelas kecil penuh cerita,
Bermimpi damai tanpa cela.
Langkahnya kini terhenti,
Di bawah bayang kelam tak pasti.
Padahal di tangannya ada lentera,
Menjaga generasi, pilar bangsa.
Tanyakan pada angin, pada malam,
Mengapa mendidik harus menanggung dendam?
Apa yang hilang di mata hukum?
Keadilan, sayang, terpendam dalam sunyi bisu.
Jiwa-jiwa yang mendidik butuh ruang,
Bukan sekadar pengabdian tanpa junjung.
Saat tangan-tangan itu terkunci,
Masa depan meratap dalam duri.
Cahaya kecil, jangan padam,
Meski badai meredam.
Setiap guru, pahlawan tak bernama,
Layak dihormati, bukan difitnah dan dihina.
Esok hari, semoga berkilau cerah,
Di atas tumpukan luka parah.
Menebar ilmu, tak lagi menuai derita,
Hanya panen harapan, penuh cinta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H