Di ujung padang yang sepi dan sunyi, Berdiri pohon tua, tegar tak bertepi, Dahulu hijau, kini telanjang dan rapuh, Rantingnya menjulur, pucat dan keruh.
Kala angin menyapa, ia hanya berdesir,
Tanpa daun berbisik, tanpa gemerincir,
Namun masih ia tegak, akar mencengkeram,
Menjaga jejak hidup di tanah yang diam.
Burung-burung tak lagi hinggap di sana,
Tak ada sarang, tak ada nada senja,
Tetapi pohon itu, tetap setia berdiri,
Menatap langit yang abu, menunggu hari.
Apakah ia rindu akan musim semi,
Ketika tunas-tunas segar merajut mimpi?
Ataukah ia hanya pasrah, pada takdir bisu,
Menunggu waktu yang melarut tanpa ragu?
Matahari terbenam dalam warna jingga,
Bayang-bayang pohon merentang, berduka,
Dalam diamnya, ada pelajaran tersirat,
Bahwa kekosongan pun punya makna yang padat.
Akar yang menjalar di bumi berdebu,
Menyimpan cerita lama yang tak pernah jemu,
Tentang hujan deras dan petir membelah,
Yang tak membuatnya roboh, hanya berserah.
Daun-daun jatuh, namun ia tetap ada,
Menyaksikan musim berganti dan reda,
Ia tahu, kekuatan sejati bukan di rindang,
Namun di akar yang sabar dan dalam yang panjang.
Meski tiada hijau, tiada bayang,
Jiwanya berdetak, dalam sunyi yang tenang,
Menanti hari, ketika angin membawa kabar,
Tentang hujan, tentang hidup yang mekar.
Kelak ketika embun menyentuh dahan,
Dan pagi membisikkan lagu kehidupan,
Pohon itu akan bangkit, menghijau lagi,
Dalam pelukan hangat sang mentari pagi.
Namun kini, ia berdiri, menerima keadaan,
Dalam kekosongan yang bukanlah kematian,
Karena ia tahu, badai pun berlalu,
Dan di balik gersang, ada tunas yang menunggu.