Biola terdiam, bisu merintih,
Tak bersuara, tak berbisik.
Dawai tiada, hilang dari tubuh,
Tertinggal hanya kenangan, angin gemuruh.
Sentuh tangan tak lagi bergetar,
Nada sunyi menghias setiap damar.
Harapan yang dulu berdansa di langit,
Kini terhenti, tersisih, menggigit.
Di sudut kamar, dalam remang sinar,
Rindu berbisik, memanggil nyaring samar.
Oh, biola tanpa dawai, apa arti hatimu?
Kala melodi direnggut sepi yang beku.
Namun, dalam kosong itu, ada bisikan halus,
Mengisyaratkan cerita yang tak akan pupus.
Biola tanpa dawai, bukanlah akhir nada,
Ia merindu senja, menanti suara merdeka.
Dalam bayang sunyi, jiwa merindu,
Melodi tersembunyi, terkurung dalam waktu.
Setiap denting kenangan terukir,
Kisah cinta, harapan, semua tersimpan, terjaga.
Kain sutra lembut menutup tubuhnya,
Satu sentuh penuh kasih, tanpa nada.
Seperti air mata yang tak terucap,
Mengalir lembut di hati yang rapuh, tak terperangkap.
Dalam kesunyian, ia belajar menunggu,
Mengharapkan sinar dari langit yang kelabu.
Mungkin suatu saat, dawai kan datang,
Menghidupkan kembali, membangkitkan semangat.
Biola ini, meski tanpa dawai,
Masih menyimpan rasa, takkan pernah mati.
Setiap goresan, setiap nafsu terpendam,
Menanti saat, kembali bercerita dalam lagu yang sama.
Oh, biola tanpa dawai, kau adalah puisi,
Sebuah cerita yang tak terucap, selamanya abadi.
Dalam keheninganmu, kau temukan makna,
Bahwa cinta dan rindu, tak selalu berbunyi, tapi bisa terasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H