Reaksi negatif dari publik, terutama masyarakat adat, telah memicu perlawanan terhadap ekspansi tambang. Masyarakat adat, seperti suku Dayak di Kalimantan, suku Tobelo di Halmahera, dan suku-suku di Papua, telah menyuarakan protes mereka melalui demonstrasi, gugatan hukum, dan bahkan penolakan langsung di lapangan.
Laporan dari Indigenous Peoples' Alliance of the Archipelago (AMAN) menyatakan bahwa masyarakat adat sering kali dikecualikan dari proses pengambilan keputusan terkait izin tambang. Mereka jarang dilibatkan dalam konsultasi yang memadai, sehingga hak mereka atas tanah adat terabaikan. Padahal, dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP), dinyatakan bahwa masyarakat adat memiliki hak untuk memberikan persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan (Free, Prior and Informed Consent -- FPIC) atas setiap proyek yang berdampak pada tanah dan sumber daya mereka.
Saskia Sassen, sosiolog terkemuka dan penulis Globalization and Its Discontents, menegaskan bahwa "ketika kebijakan ekonomi global termasuk dalam sektor pertambangan melanggar hak-hak lokal, terutama hak masyarakat adat, kita melihat munculnya ketegangan yang dapat merusak tatanan sosial dan lingkungan dalam jangka panjang." Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan yang hanya berfokus pada keuntungan ekonomi tanpa mempertimbangkan dimensi sosial dapat mengakibatkan krisis yang lebih besar.
Lembaga internasional seperti The International Union for Conservation of Nature (IUCN) juga menyoroti bahwa banyak proyek pertambangan di negara berkembang sering kali mengabaikan nilai-nilai ekologis dan hak masyarakat adat. Mereka menyarankan agar kebijakan pertambangan harus sejalan dengan prinsip keberlanjutan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Kritik terhadap Kebijakan Pemerintah
Salah satu kritik utama terhadap kebijakan pertambangan Indonesia adalah kurangnya transparansi dan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Menurut Transparency International, Indonesia masih menghadapi tantangan dalam hal tata kelola sumber daya alam, terutama dalam memastikan bahwa izin tambang diberikan secara transparan dan adil. Laporan mereka menyatakan bahwa korupsi dalam pemberian izin tambang masih menjadi masalah serius, yang merusak integritas kebijakan publik.
Selain itu, dampak lingkungan dari tambang juga menjadi perhatian besar. Menurut data dari Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), pertambangan di Indonesia telah menyebabkan deforestasi yang signifikan, pencemaran air, dan kerusakan ekosistem, yang sebagian besar berdampak pada kehidupan masyarakat adat yang bergantung pada alam. Pemerintah sering kali gagal menegakkan regulasi lingkungan dengan ketat, yang memperburuk masalah ini.
Solusi: Pendekatan Kebijakan Publik yang Inklusif dan Berkelanjutan
Untuk menyelesaikan permasalahan ini, kebijakan publik yang lebih inklusif dan berkelanjutan perlu diadopsi. Beberapa langkah yang dapat diambil termasuk:
1. Peningkatan Partisipasi Masyarakat Adat:
Pemerintah harus memastikan bahwa masyarakat adat dilibatkan secara aktif dalam proses perizinan tambang. Ini termasuk pelaksanaan FPIC, yang menjamin hak mereka untuk menyetujui atau menolak proyek yang berdampak pada tanah mereka.