Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat - Jurnalis

Alamat Jln. Tj, Jepara No.22 Kota Luwuk Kab. Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pertambangan dan Kebijakan Publik atas Hak Masyarakat Adat

24 Oktober 2024   11:08 Diperbarui: 24 Oktober 2024   11:08 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendahuluan

Pembukaan keran tambang oleh pemerintah Indonesia telah menimbulkan perdebatan sengit, khususnya terkait dampak lingkungan dan sosial yang ditimbulkan. Sementara pemerintah berargumen bahwa sektor pertambangan merupakan tulang punggung ekonomi, terutama dalam meningkatkan pendapatan negara dan menciptakan lapangan kerja, masyarakat adat dan aktivis lingkungan berpendapat bahwa kebijakan ini mengabaikan hak-hak mereka serta merusak lingkungan. Ketegangan ini mengangkat pertanyaan: Bagaimana kebijakan publik yang ideal harus dibuat ketika terdapat ketegangan antara kebutuhan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan serta hak masyarakat adat? Dalam kajian ilmu kebijakan publik, pendekatan yang menyeluruh, transparan, dan berbasis bukti sangat diperlukan untuk menjembatani perbedaan ini.

Kebijakan Pertambangan Indonesia: Ekonomi vs Lingkungan

Sejak beberapa tahun terakhir, pemerintah Indonesia membuka pintu investasi sektor pertambangan lebih lebar, dengan tujuan mempercepat pembangunan ekonomi. Pada 2023, sektor pertambangan menyumbang sekitar 7% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dan berperan penting dalam menarik investasi asing. Kebijakan ini disambut baik oleh kalangan industri karena berpotensi meningkatkan pendapatan nasional, terutama di sektor ekspor nikel, batubara, dan emas, yang menjadi bahan penting dalam industri teknologi global seperti baterai untuk kendaraan listrik.

Namun, dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat adat di sekitar area pertambangan memicu protes besar-besaran. Masyarakat adat, yang tanah leluhurnya sering kali tumpang tindih dengan konsesi tambang, merasa terpinggirkan. Menurut AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), lebih dari 12 juta hektar lahan masyarakat adat di Indonesia telah terkena dampak izin tambang, tanpa konsultasi yang memadai atau pengakuan terhadap hak ulayat mereka. Hal ini mencerminkan masalah mendasar dalam kebijakan publik: kurangnya partisipasi masyarakat terdampak dalam pengambilan keputusan.

Asas Keadilan dan Partisipasi Masyarakat Adat

Dalam perspektif ilmu kebijakan publik, ada beberapa asas yang relevan untuk dikaji terkait kebijakan pertambangan ini, terutama asas keadilan dan partisipasi. Kebijakan yang adil harus mempertimbangkan dampak terhadap seluruh kelompok yang terlibat, termasuk masyarakat adat yang secara historis telah memiliki hak atas tanah mereka.

Menurut teori keadilan distributif yang diusulkan oleh John Rawls, kebijakan pemerintah harus memastikan bahwa distribusi manfaat dan beban dilakukan secara adil, terutama bagi mereka yang paling rentan. Dalam konteks pertambangan, ini berarti kebijakan harus memprioritaskan kepentingan masyarakat adat yang bergantung pada tanah mereka untuk kelangsungan hidup. Namun, dalam praktiknya, kebijakan pertambangan Indonesia sering kali berpihak pada kepentingan investor, dan distribusi manfaat tidak proporsional, dengan masyarakat lokal sering kali hanya menerima dampak buruk berupa kerusakan lingkungan dan kehilangan tanah.

Profesor Joseph Stiglitz, seorang ekonom dan peraih Nobel Ekonomi, menyatakan bahwa "kebijakan yang hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi jangka pendek tanpa memperhatikan dampak sosial dan lingkungan akan menghasilkan ketimpangan dan kerusakan jangka panjang yang jauh lebih mahal untuk diperbaiki." Ini menggambarkan tantangan yang dihadapi Indonesia dalam sektor pertambangan. Meskipun manfaat ekonomi dalam jangka pendek terlihat signifikan, biaya sosial dan ekologis yang diabaikan bisa menciptakan kerugian lebih besar di masa depan.

Reaksi Publik dan Masyarakat Adat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun