Di atas perahu, sang Nelayan duduk termenung,Air laut berwarna gelap, tak lagi menenangkan,Angin berbisik dalam nada murung,
Langit pun kelabu, seakan turut menangis dalam kesunyian.
Seekor Ikan perlahan muncul dari dasar yang kelam,
Sisiknya pudar, tak lagi bersinar terang,
Ia berenang mendekat dengan langkah yang lelah,
Menatap Nelayan dengan mata penuh duka yang dalam.
"Ke mana engkau pergi, wahai teman lama?"
Tanya Nelayan dengan suara bergetar,
"Dulu kau selalu datang, membawa kehidupan,
Tapi kini, yang tersisa hanya kesunyian."
Ikan menatapnya, penuh kesedihan,
"Laut ini, yang dulu hangat memeluk kami,
Kini jadi kuburan, perlahan merenggut nyawa,
Tambang dan besi meracuni air kami."
"Tahukah kau," lanjut Ikan dalam tangis diam,
"Sungai-sungai yang dulu mengalirkan kehidupan,
Kini membawa luka, membawa racun,
Danau tempat kami berlindung kini mati membeku."
Nelayan menggigit bibir, hatinya tercabik,
"Kami mencari rezeki, menggantung harapan,
Tambang itu menjanjikan gemilang,
Tapi apa artinya emas, jika air berubah jadi darah?"
Ikan mendekat, nafasnya tersengal,
"Manusia lupa, bahwa air dan tanah ini bukan milik mereka,
Kami, penghuni Laut, tak lagi punya rumah,
Sementara kalian menutup telinga,
Pada jerit kesakitan yang kau timbulkan."
Nelayan terdiam, tangannya gemetar,
Perahunya tak lagi menari di atas ombak.
"Janji itu palsu," ucapnya lirih,
"Laut ini, yang dulu penuh berkah,
Kini hanya sisa kehancuran yang kami tinggalkan."
Ikan tersenyum pilu, air mata pun jatuh,
"Kami datang, berharap masih ada kesempatan,
Namun laut ini telah terluka terlalu dalam,
Sungai-sungai tak lagi membawa kehidupan."
Dengan bisikan terakhir, Ikan berkata:
"Manusia mengeruk perut bumi,
Menghisap air, merenggut nyawa,
Laut, sungai, dan danau kini menangis,
Kami pun tenggelam dalam diam."
Nelayan menatap lautan yang sunyi,
Air mata jatuh, bergulir di pipinya yang kasar.
Di sana, di tengah lautan yang dulu penuh cinta,
Kini hanya tersisa kesepian yang tak terobati.