Pendahuluan
Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence atau AI) semakin pesat, memberikan banyak manfaat di berbagai sektor, mulai dari industri, pendidikan, hingga hiburan. Salah satu penerapannya yang menonjol adalah AI dalam pembuatan konten, seperti penulisan otomatis, pembuatan gambar, dan musik. Namun, kemudahan ini memunculkan tantangan baru, yaitu isu plagiarisme. Plagiarisme, yang didefinisikan sebagai tindakan menjiplak karya orang lain tanpa memberikan penghargaan yang semestinya, kini semakin kompleks dengan hadirnya AI.
Peran AI dalam Produksi Konten
AI dapat memproduksi teks, gambar, musik, dan video dengan sangat cepat dan dalam volume besar. Beberapa aplikasi, seperti ChatGPT, GPT-4, DALL-E, atau alat pembuat musik berbasis AI, memungkinkan pengguna untuk menghasilkan konten dengan mudah. Dalam konteks pendidikan, beberapa mahasiswa menggunakan AI untuk membantu menulis esai atau menyelesaikan tugas yang rumit. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa karya yang dihasilkan oleh AI dapat berpotensi melanggar hak kekayaan intelektual, terutama jika hasil yang disusun merupakan tiruan dari karya orang lain tanpa atribusi yang tepat.
Sebuah survei dari Turnitin, salah satu platform deteksi plagiarisme terbesar, menunjukkan bahwa kasus plagiarisme akademik meningkat sekitar 10% antara tahun 2019 dan 2023, seiring dengan meningkatnya penggunaan teknologi otomatisasi, termasuk AI dalam penulisan. Hal ini menunjukkan bahwa siswa semakin bergantung pada teknologi untuk menyelesaikan tugas mereka, dan sering kali tanpa memberikan kredit yang memadai kepada sumber aslinya .
Laporan Education Week pada tahun 2022 juga menunjukkan bahwa lebih dari 60% guru khawatir penggunaan AI untuk penulisan otomatis akan menyebabkan pelanggaran akademik. Mereka menyebut bahwa kemampuan AI dalam meniru gaya tulisan manusia membuat plagiarisme lebih sulit dideteksi dengan metode tradisionalÂ
Perspektif Ahli tentang Tantangan Etika
Beberapa ahli etika teknologi menyoroti risiko etika yang ditimbulkan oleh AI terkait plagiarisme. Profesor Kate Devlin, seorang pakar etika AI dari King's College London, berpendapat bahwa AI dapat dengan mudah "mengaburkan" batas antara karya orisinal dan plagiarisme karena kemampuan AI dalam meniru dan mengkontekstualisasikan informasi dari berbagai sumber tanpa pemahaman sebenarnya tentang kepemilikan intelektual .
Sementara itu, Stephen Marche, seorang penulis dan ahli AI, berpendapat bahwa AI bukanlah masalah itu sendiri, melainkan penggunaannya yang tidak bertanggung jawab oleh manusia. Ia menyatakan bahwa AI seharusnya menjadi alat yang membantu kreativitas manusia, bukan menggantikannya. Menurutnya, tanggung jawab moral tetap berada pada pengguna AI, bukan pada teknologinya.
Plagiarisme dan Sistem Deteksi
Saat ini, sistem deteksi plagiarisme seperti Turnitin dan Grammarly bekerja dengan cara memindai teks dan membandingkannya dengan database besar dari karya tulis yang sudah ada. Namun, seiring dengan kemajuan AI dalam menghasilkan teks yang semakin mirip dengan hasil karya manusia, sistem ini menghadapi kesulitan dalam mengidentifikasi apakah sebuah karya merupakan hasil orisinal atau buatan mesin.