Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat - Jurnalis

Alamat Jln. Tj, Jepara No.22 Kota Luwuk Kab. Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kudeta Terhadap Pemerintahan Yang Zalim, Legitim atau Tidak. Oleh : Rudi Sinaba

25 September 2024   12:24 Diperbarui: 28 September 2024   08:11 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendahuluan

Kudeta adalah istilah yang sering kali membawa konotasi negatif, menggambarkan pengambilalihan kekuasaan secara paksa dari pemerintahan yang sah. Namun, dalam sejarah politik, ada situasi di mana kudeta dilakukan dengan tujuan untuk mencapai keadilan, menggulingkan pemerintahan yang dianggap telah melanggar hak-hak rakyat atau menindas. Hal ini menimbulkan pertanyaan: Apakah kudeta untuk keadilan bisa dianggap sah? Artikel ini akan mengeksplorasi keabsahan kudeta untuk keadilan dari perspektif hukum, filsafat politik, etika dan hak asasi manusia, serta pendapat kontemporer.

1. Perspektif Hukum

Secara hukum, kudeta hampir selalu dianggap ilegal. Konstitusi dan hukum di berbagai negara umumnya mengatur mekanisme damai untuk perubahan kekuasaan, seperti pemilu atau proses legislasi. Kudeta, yang sering melibatkan pengambilalihan kekuasaan melalui kekerasan atau ancaman kekerasan, melanggar prinsip-prinsip ini dan dianggap bertentangan dengan hukum nasional maupun internasional.

Namun, sejarah menunjukkan bahwa setelah kudeta berhasil, para pemimpin baru sering kali berusaha melegitimasi kekuasaan mereka dengan mengubah hukum, menyusun konstitusi baru, atau mencari pengakuan internasional. Contoh terkenal adalah Revolusi Prancis, di mana rezim baru yang lahir dari kekerasan kemudian mencoba melegitimasi dirinya dengan dasar-dasar hukum dan ideologi yang baru.

Keabsahan hukum dari kudeta untuk keadilan sering kali hanya diakui secara retrospektif, tergantung pada apakah kekuasaan baru mampu menciptakan stabilitas dan mendapatkan dukungan rakyat.

2. Perspektif Filsafat Politik

Dari perspektif filsafat politik, keabsahan kudeta untuk keadilan dapat dilihat melalui dua lensa utama: teori hak untuk memberontak dan kebutuhan akan stabilitas.

Teori hak untuk memberontak seperti yang dikemukakan oleh John Locke menyatakan bahwa rakyat memiliki hak untuk menggulingkan pemerintahan yang telah melanggar kontrak sosial, yaitu gagal melindungi hak-hak dasar rakyat. Jika pemerintah terlibat dalam penindasan, korupsi, atau pelanggaran hak asasi manusia, maka rakyat memiliki hak moral untuk melakukan kudeta demi mencapai keadilan.

Di sisi lain, filsuf seperti Thomas Hobbes menekankan pentingnya stabilitas dan ketertiban sebagai syarat utama bagi kehidupan sosial yang aman dan sejahtera. Menurut pandangan ini, meskipun pemerintah mungkin tidak sempurna, anarki yang sering menyusul kudeta bisa lebih buruk, sehingga kudeta hanya dapat dibenarkan dalam situasi yang sangat ekstrem.

3. Perspektif Etika dan Hak Asasi Manusia

Dari perspektif etika, kudeta untuk keadilan dapat dipertimbangkan sah secara moral jika dilakukan untuk mengakhiri penindasan yang parah dan membawa keadilan bagi rakyat. Namun, penting untuk menilai niat, metode, dan konsekuensi dari kudeta tersebut.

Jika kudeta dilakukan dengan cara-cara yang menghormati hak asasi manusia dan menghindari kekerasan yang tidak perlu, serta menghasilkan pemerintahan yang lebih adil, maka dapat dikatakan bahwa kudeta tersebut memiliki keabsahan moral. Sebaliknya, jika kudeta dilakukan untuk kepentingan segelintir elit dan menimbulkan penderitaan yang lebih besar bagi rakyat, maka tindakan tersebut sulit dibenarkan secara etis.

Hak asasi manusia, khususnya hak untuk hidup, kebebasan, dan keamanan, harus menjadi pertimbangan utama dalam setiap tindakan yang melibatkan kekerasan, termasuk kudeta. Tindakan yang merusak hak-hak ini tanpa alasan yang kuat dan sah mungkin dianggap tidak etis, bahkan jika tujuannya adalah keadilan.

4. Pendapat Kontemporer

Dalam diskursus kontemporer, banyak pemikir politik dan praktisi hukum mulai mengeksplorasi kembali keabsahan kudeta dalam konteks modern, di mana teknologi, media sosial, dan keterkaitan global telah mengubah dinamika kekuasaan. Salah satu contoh yang relevan adalah revolusi dan kudeta yang terjadi dalam konteks "Arab Spring". Gerakan ini, yang dipicu oleh tuntutan keadilan sosial dan penentangan terhadap pemerintahan otoriter, menghasilkan perubahan rezim di beberapa negara Timur Tengah dan Afrika Utara.

Namun, hasil dari perubahan ini sering kali bercampur; sementara beberapa rezim otoriter berhasil digulingkan, hasil akhirnya sering kali tidak mencapai harapan awal para revolusioner, dan dalam beberapa kasus, malah mengarah pada instabilitas yang lebih besar, kekerasan berkepanjangan, dan kemunduran dalam hak asasi manusia.

Para analis kontemporer seperti Gene Sharp, yang meneliti strategi non-kekerasan, mengemukakan bahwa kudeta yang dilakukan tanpa kekerasan, melalui kekuatan rakyat dan pembangkangan sipil, lebih mungkin menghasilkan pemerintahan yang lebih stabil dan adil dibandingkan dengan kudeta bersenjata. Sharp berpendapat bahwa kekerasan sering kali hanya menciptakan siklus kekerasan yang baru, dan bahwa keadilan sejati lebih mungkin dicapai melalui cara-cara damai yang menggerakkan dukungan rakyat secara luas.

Sementara itu, akademisi lain seperti Jack Goldstone menyoroti pentingnya memahami kondisi struktural yang mendahului kudeta atau revolusi. Menurut Goldstone, tanpa adanya reformasi yang mendasar dalam struktur ekonomi dan politik, kudeta yang berhasil menggulingkan pemerintahan tidak serta merta membawa keadilan atau perubahan positif, melainkan hanya menciptakan rezim baru yang mungkin sama atau bahkan lebih represif.

5. Kudeta dalam Sejarah

Untuk memahami lebih jauh keabsahan kudeta dari sudut pandang historis, berikut adalah dua contoh nyata dari kudeta yang sukses dan yang gagal, serta latar belakangnya:

A. Kudeta yang Sukses: Revolusi Kuba (1953-1959)

Revolusi Kuba, yang dipimpin oleh Fidel Castro, Ernesto "Che" Guevara, dan kelompok gerilyawan lainnya, adalah salah satu contoh kudeta yang dianggap berhasil dan membawa perubahan signifikan. Revolusi ini dimulai sebagai gerakan bersenjata yang menentang rezim diktator Fulgencio Batista, yang saat itu dikenal karena korupsi, ketidakadilan sosial, dan hubungan eratnya dengan kepentingan ekonomi Amerika Serikat.

Latar belakang revolusi ini adalah ketidakpuasan luas terhadap ketimpangan sosial dan ekonomi di Kuba, serta ketidakmampuan pemerintah Batista untuk menyediakan layanan dasar bagi rakyat. Pada tahun 1959, setelah pertempuran sengit dan dukungan rakyat yang semakin besar, Castro dan pasukannya berhasil menggulingkan Batista. Rezim baru ini kemudian mengimplementasikan reformasi agraria, pendidikan, dan kesehatan yang luas.

Namun, meskipun revolusi ini awalnya dipandang sebagai pembebasan dari penindasan, rezim Castro kemudian berubah menjadi otoriter, dengan pembatasan kebebasan politik dan penindasan terhadap oposisi. Meskipun demikian, dalam pandangan banyak pendukungnya, revolusi ini tetap dianggap sebagai langkah sah menuju keadilan sosial di Kuba.

B. Kudeta yang Gagal: Kudeta di Venezuela 2002

Pada tahun 2002, Venezuela mengalami kudeta yang gagal ketika sekelompok pejabat militer dan sipil mencoba menggulingkan Presiden Hugo Chvez. Chvez, yang telah terpilih secara demokratis, menghadapi perlawanan keras dari kalangan oposisi, yang menuduhnya mengarahkan Venezuela ke arah diktatorisme dan mengabaikan hak-hak dasar rakyat.

Kudeta ini didorong oleh kombinasi faktor ekonomi, politik, dan sosial, termasuk ketidakpuasan dengan kebijakan Chvez yang dianggap merugikan bisnis dan elit tradisional, serta meningkatnya kekerasan dan ketidakstabilan di negara tersebut.

Pada 11 April 2002, kudeta ini tampaknya berhasil ketika Chvez ditangkap dan Pedro Carmona, pemimpin organisasi bisnis Venezuela, mengumumkan dirinya sebagai presiden sementara. Namun, kudeta ini hanya berlangsung singkat. Dalam waktu 48 jam, tekanan internasional dan dukungan kuat dari pendukung Chvez di kalangan militer dan masyarakat luas memaksa Carmona untuk mundur, dan Chvez kembali berkuasa.

Kegagalan kudeta ini menunjukkan bahwa meskipun ada ketidakpuasan terhadap pemerintahan yang sah, tanpa dukungan luas dari rakyat dan militer, kudeta tidak hanya ilegal, tetapi juga tidak efektif dan berpotensi memperburuk situasi.

Kesimpulan

Keabsahan kudeta untuk keadilan tidak dapat dinilai hanya dari satu perspektif saja. Dari sudut pandang hukum, kudeta hampir selalu dianggap ilegal. Namun, dari perspektif filsafat politik dan etika, kudeta bisa dianggap sah dalam kondisi tertentu, terutama ketika semua cara damai telah gagal dan pemerintah telah melanggar hak-hak dasar rakyat secara serius.

Dalam konteks kontemporer, kudeta untuk keadilan sering kali dilihat dengan skeptis, mengingat risiko dan konsekuensinya yang besar. Meskipun niatnya mungkin mulia, hasil dari kudeta sering kali tidak sesuai harapan dan dapat menimbulkan penderitaan lebih lanjut. Oleh karena itu, langkah ini harus dipertimbangkan dengan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun