pertambangan hijau semakin sering dipromosikan oleh perusahaan tambang di Indonesia, terutama sebagai bagian dari kampanye keberlanjutan untuk menarik perhatian investor dan publik. Istilah ini merujuk pada praktik pertambangan yang diklaim ramah lingkungan dengan penggunaan teknologi dan manajemen yang lebih baik untuk mengurangi dampak lingkungan. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa pertambangan yang benar-benar ramah lingkungan hampir tidak mungkin dilakukan. Penelitian dan investigasi terbaru di Indonesia memperlihatkan bahwa di balik slogan "green mining," kerusakan ekosistem tetap terjadi, dan konsekuensi sosial-ekonomi negatif masih dirasakan oleh masyarakat lokal.
Konsep "green mining" atauKerusakan Hutan dan Ekosistem
Menurut data dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), sepanjang tahun 2023, Indonesia kehilangan lebih dari 200 ribu hektar hutan karena aktivitas pertambangan, terutama di wilayah Kalimantan dan Sumatra. "Green mining adalah mitos. Tidak ada pertambangan yang tidak merusak ekosistem dan komunitas di sekitarnya," kata Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif WALHI. Zenzi menyoroti bagaimana perusahaan tambang mengabaikan peraturan lingkungan yang ada dan sering kali hanya melakukan reklamasi secara simbolis.
Di Kalimantan Timur, sebagai pusat pertambangan batubara di Indonesia, penggundulan hutan terjadi di sekitar daerah operasi tambang, seperti di Kutai Kartanegara, Paser, dan Berau. Sebuah investigasi di lapangan menemukan bahwa sungai-sungai tercemar oleh limbah tambang, menyebabkan rusaknya sumber air bagi masyarakat sekitar. WALHI melaporkan bahwa lebih dari 60% sungai di sekitar wilayah tambang di Kalimantan Timur tercemar bahan kimia berbahaya seperti merkuri dan sianida.
Manipulasi Data dan Pelanggaran Prosedur Lingkungan
Investigasi lebih lanjut oleh Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menemukan bahwa sebagian besar perusahaan tambang tidak mematuhi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang seharusnya dilakukan sebelum mendapatkan izin operasi. "Banyak perusahaan tambang yang mengabaikan AMDAL atau memanipulasi data untuk mendapatkan izin," ujar Merah Johansyah, Koordinator Nasional JATAM. Menurutnya, hasil temuan investigasi di Kalimantan Timur menunjukkan bahwa dari 120 tambang yang beroperasi, 70% di antaranya tidak melakukan kajian dampak lingkungan dengan benar.
Laporan JATAM juga mengungkapkan bahwa perusahaan-perusahaan tambang ini kerap kali menyuap pejabat lokal untuk mendapatkan izin tanpa perlu mengikuti prosedur lingkungan yang ketat. Akibatnya, ketika bencana alam seperti banjir dan longsor terjadi, daerah-daerah tambang tersebut menjadi lebih rentan dan masyarakat setempat yang menanggung beban terberat.
Tidak Ada yang Namanya Tambang Ramah Lingkungan
Menurut Dr. Dwi Sawung, ahli lingkungan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), pertambangan selalu memiliki dampak yang signifikan terhadap ekosistem dan lingkungan, bahkan dengan penerapan teknologi terbaik sekalipun. "Teknologi modern dalam pertambangan mungkin dapat mengurangi dampak, tetapi tidak bisa menghilangkan dampak tersebut. Pertambangan pasti akan menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati, degradasi tanah, dan pencemaran air," jelasnya.
Dr. Dwi juga menyebutkan bahwa konsep "green mining" sering kali hanya berfungsi sebagai alat pemasaran untuk meredakan kritik publik dan investor. "Jika Anda benar-benar melihat ke lapangan, hampir tidak ada perusahaan yang melakukan pertambangan tanpa merusak lingkungan. Ini adalah masalah mendasar dari industri ekstraktif," tambahnya.
Lingkungan dan Masyarakat Terdampak Langsung