Mohon tunggu...
Rudi Suardi
Rudi Suardi Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Penjelajah dan pemimpi

seorang fotografer profesional yang menyukai traveling dan menulis berdomisili di jakarta fortofolionya dapat dilihat di www.therudisuardi.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Cinta di Kaki Gunung Marapi

6 Mei 2015   08:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:20 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14308757101266313146

Sebuah Cinta di Kaki Gunung

Pak Ujang tersenyum ramah saat saya menyapa beliau dikebun sawi dikawasan yang sejuk dikaki gunung marapi Sumatra barat, “ya disyukuri saja dek..apa yang kita terima masih bisa keladang dalam keadaan sehat walafiat sudah sebuah anugrah bagi saya” begitu jawabnya saat saya bertanya tentang pendapatannya yang hanya dua puluh ribu rupiah sehari yang menurut saya sangat kecil.

Usianya yang tidak bisa dibilang muda, dari penjelasannya tentang kejadian letusan Gunung Singgalang saya bisa menebak usianya diatas 70 tahun, tapi Pak Ujang masih kuat mengangkat kayu bakar dan gerobak sayurnya dari ladangnya dengan jalur perjalanan yang menanjak curam untuk diantar ke pengumpul. Hujan gerimis yang mengiringi kami dan kabut tebal seperti menusuk jemariku dan tapi bagi Pak Ujang suhu sedingin telah menyapa kulitnya menjadi hangat penuh energi. Setiap hari ia mesti berjalan dengan gerobaknya  Saya pun mencoba mengangkat gerobak bawaannya tapi hanya mampu bertahan beberapa puluh meter saja. Saya tidak bisa menahan nafas saya yang ngos-ngosan. Kebiasaan orang kantoran yang lama  duduk memang membuat tenaga saya kalah bersaing dengan petani tua.

Selesai menemani Pak Ujang dari kebun kami pun sampai dirumah beliau, rumah sederhana dengan sebagian dinding yang keropos dimakan rayap. Masuk keruang tamu seorang wanita tua sedang sholat dalam keadaan duduk, “Ini Istri saya, tiga  tahun lalu ia terjatuh di sumur dan sejak itu ia hanya bisa duduk dan berbaring saja”  Pak Ujang  kini mesti menyiapkan air mandi untuk istrinya termasuk menyiapkan segala kebutuhannya. “Saya jadi pintar masak sekarang tapi  merapikan rumah tetap belum bisa” ujarnya sambil tertawa. Mungkin ini pembelaan beliau atas ruangan yang memang berantakan, persis kayak kamar saya dulu ketika masih kuliah.

Berlokasi di Desa Pariangan, Kabupaten Tanah Datar yang menurut sejarah disinilah asal nenek moyang masyarakat suku minangkabau berasal. Desa yang masuk menjadi Lima Desa terindah di dunia versi budget travel memang menyisakan rumah-rumah tuanya dengan kehidupan pertaniannya. Butuh waktu sekitar dua jam dari Kota Padang untuk menuju lokasi ini.

“Kami telah lewati semua kisah kehidupan dengan segala warna yang kami punya, dulu dia termasuk gadis tercantik di desa ini dek, sampai sekarang penilaian itu tak berubah, saya beruntung bisa menemani dia sampai tua, dialah dulu yang selalu merawat saya menyiapkan makan dan pakaian saya, sekarang ia sedang sakit, jadi sudah saatnya giliran saya merawatnya” ujar sang bapak menutup pertemuan kami sore itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun