Seiring dengan pelantikan Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia, maka beliau melakukan penataan Kementerian/Lembaga. Tujuan penataan kelembagaan selain untuk mendapatkan kelembagaan yang tepat fungsi dan ukuran (righ sizing), juga agar ada wadah yang menangani/mengimplementasikan visi, misi, program dan kegiatan yang telah beliau sampaikan dalam kampanye pemilihan presiden.Wujudnya berupa pembentukan kelembaaan baru, penggabungan atau penyempurnaan nomenklatur. Penataan kelembaaan hendaknya juga diikuti kebijakan pengurangan besaran organisasi/jabatan kementerian/lembaga dan pemerintah daerah. Karena selama ini besaran organisasi/jabatan di lingkungan lembaga pemerintah cenderung menganut pola maksimal. Pimpinan puncak organisasi harus berani membuat keputusan tidak populer untuk mewujudkan organisasi yang efektif, efisien, memperpendek rentang kendali (spin of control) dan tidak terlalu membebani anggaran. Untuk itu beberapa urusan yang dihapus dilebur ke dalam jabatan lain, sehingga fungsi-fungsinya tidak hilang.
Permasalahan kelembagaan pemerintah selain seperti yang diuraikan di atas juga dihadapkan dengan banyak peraturan perundang-undangan sektoral yang mengharuskan pemerintah daerah membentuk kelembagaan atau mengaitkan pemberian dana dengan pembentukan kelembagaan. Kondisi ini menyebabkan APBD tersedot cukup banyak untuk membiaya lembaga/aparatur dan berdampak pada besaran belanja publik.
Penataan kelembagaan di instansi pemerintah akan terus bergulir dari waktu ke waktu. Setiap kali terjadi perubahan pada peraturan perundang-undangan yang terkait dengan organisasi/kelembagaan pasti akan berpengaruh kepada kementerian/lembaga dan itu akan berpengaruh pula kepada kelembagaan di lingkungan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota. Selanjutnya, organisasi itu sifatnya dinamis, mengalami perkembangan sesuai dengan kondisi lingkungan yang juga dinamis. Itulah sebabnya, kelembagaan yang telah dibentuk dan ketika itu dianggap cukup memadai, akan ditemui kekurangannya seiring dengan perjalanan waktu.
Penataan kelembagaan yang dilakukan presiden dapat juga dilakukan oleh kepala daerah di lingkungan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Mengingat mereka juga punya visi, misi, program dan kegiatan yang harus direalisasikan. Jika ada visi, misi dan program/kegiatannya yang dipandang tidak/kurang maksimal jika dilaksanakan lembaga yang ada, maka dapat dibentuk kelembagaan baru. Peraturan perundang-undangan di bidang kelembagaanmemberikan ruang yang memadai kepada presiden maupun kepala daerah untuk melakukan hal tersebut.
Jika tidak ada aral melintang Pemerintah Provinsi Riau akan memberlakukan Perda Nomor 1 tentang Sekretariat Daerah dan Sekretariat DPRD; Peraturan Daerah Nomor 2 Tentang Organisasi Dinas Daerah; dan Peraturan Daerah Nomor 3 Tentang Organisasi Inspektorat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Lembaga Teknis Daerah—yang disetujui DPRD awal tahun 2014 dan pula telah mendapat persetujuan dari Kementerian Dalam Negeri.
Agar kelembagaan yang telah dibentuk dan diterapkan nantinya dapat berguna sebagaimana mestinya, pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder) di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau kiranya memperhatikan hal-hal berikut:
Pertama, perlunya pemahaman terhadap tugas dan fungsi (tusi) baik lembaga tempat dia bekerja maupun lembaga yang lain.
Untuk memudahkan pemahaman pelaksanaan tusi dapat dilihat dari fungsi-fungsi organisasi yang garis besarnya meliputi: fungsi/unsur staf, fungsi/unsur pelaksana teknis dan fungsi/unsur penunjang.
Unsur staf kepala daerah (sekretariat daerah) dan DPRD (sekretariat dewan). Unsur pelaksana teknis (dinas). Unsur penunjang tugas kepala daerah (lembaga teknis daerah), yang meliputi: unsur pengawas (inspektorat), unsur perencana (bappeda), unsur penunjang dalam bidang tertentu (Badan), unsur spesifik dalam pekerjaan tertentu (Rumah Sakit/Satuan/Sekretariat (di luar Setda/Setwan).
Pemahaman tusi semua lembaga diperlukan untuk menghindari tumpang tindih pelaksanaan tusi, pengusulan, penetapan dan pelaksanaan dan program/kegiatan, menciptakan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan, efisiensi anggaran dan juga untuk menghindari dampak hukum di kemudian hari.
Pengusulan dan penetapan program/kegiatan setiap SKPD harus benar-benar sesuai dengan tusinya. Untuk itu aparatur yang bekerja pada lembaga unsur perencana hendaknya memiliki pengetahuan yang memadai tentang organisasi/kelembagaan supaya dapat memberikan penjelasan yang memadai sehingga dapat diterima dari sudut pandang organisasi.
Kedua, penempatan aparatur yang tepat mengisi untuk memegang jabatan pada sebuah lembaga. Tujuannya agar pelaksaaan tusinya dapat dilaksanakan secara maksimal.
Ketiga, pembenahan sumber daya manusia aparatur, yang garis besarnya meliputi peningkatan kualitas, sistem rekruitmen, distribusi dan perubahan pola pikir.
Salah satu hal yang menjadi perhatian pemerintahan Presiden Joko Widodo terkait dengan perlunya perubahan pola pikir aparatur (revolusi mental) dalam menyelenggarakan pemerintahan, sesuai dengan harapan/tuntutan masyarakat. dan itu kiranya juga mendapat perhatian dari pemerintah daerah.
Penataan kelembagaan di lingkungan pemerintah juga merupakan pelaksanaan Perpres Nomor 80/2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi dan Permen PAN dan RB Nomor 20/2010 Tentang Road Map Reformasi Birokrasi.
Ada 8 area perubahan Reformasi Birokrasi yang harus dilaksanakan Kementerian/Lembaga serta Pemerintah Daerah: 1). kelembagaan (organisasi yang tepat fungsi dan tepat ukuran (right sizing), 2). ketatalakasanaan (sistem, proses dan prosedur kerja yang jelas, efektif, efisien, terukur dan sesuai dengan prinsip prinsip Good governance), 3). peraturan perundang-undangan (regulasi yang lebih tertib, tidak tumpang tindih dan kondusif), 4). sumber daya manusia aparatur (SDM aparatur yang berintegritas, netral, kompeten, capable, profesional, berkinerja tinggi dan sejahtera), 5). pengawasan (meningkatnya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN), 6). akuntabilitas (meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi), 7). pelayanan publik (pelayanan prima sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat); 8). pola pikir (mind-set) dan budaya kerja (culture-set) organisasi (birokrasi dengan integritas dan kinerja yang tinggi).
Yang perlu digarisbawahi dalam pelaksanaan reformasi birokrasi adalah mewaspadai penolakan (resistensi). Penolakan terjadi mungkin karena pesimis melihat banyaknya program yang bagus dari pemerintah tetapi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Mungkin juga karena kurangnya pememahaman. Atau, karena zona kenyamanannya (status quo) terganggu.
Kunci pelaksanaan reformasi birokrasi adalah komitmen dan keteladan dari semua pejabat, baik di eksekutif maupun di legislatif pejabat—dan tentunya juga perlembagaan/institusionalisasi reformasi birokrasi agar mengikat semua pihak.
Rudi Hartono, Magister Profesional Pengembangan Masyarakat IPB, peminat/pemerhati masalah organisasi pemerintah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H