Mohon tunggu...
Rudi Hartono
Rudi Hartono Mohon Tunggu... PNS -

Ingin seperti padi: Semakin berisi semakin merunduk

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tragedi Presiden Soekarno dan Nasehat Bung Hatta kepada Presiden Joko Widodo

2 Februari 2015   14:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:58 494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ketika Presiden Soekarno dinilai telah melenceng dari konstitusi—misalnya dengan menerapkan Demokrasi Terpimpin dan mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup—maka berbagai pihak memberikan masukan dan kritikan. Salah satunya berasal dari sahabat karib beliau sendiri, teman seperjuangan dalam suka dan duka, dan juga mantan wakilnya: Bung Hatta.

Dalam salah satu tulisannya yang berjudul Demokrasi Kita yang dimuat di Majallah Pandji Masjarakat, pimpinan Hamka, tahun 1960, beliau menegaskan moral, yang bersumber dari Ketuhanan Yang Maha Esa, merupakan fondamen dasar dalam menjalankan pemerintahan. Perikemanusian, persatuan Indonesia, demokrasi dan keadilan sosial merupakan fondamen politik

Selanjutnya dikatakannya, “Dengan meletakkan moral di atas diharapkan oleh mereka yang memperbuat Pedoman Negara ini supaya negara dan pemerintahnya memperoleh dasar yang kokoh, yang memerintahkan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran serta persaudaraan ke luar dan ke dalam. Dengan politik pemerintahan yang berdasarkan kepada moral yang tinggi diharapkan tercapainya—seperti yang tertulis di dalam Pembukaan itu—suatu susunan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” (Mohammad Hatta Beberapa Pokok Pikiran, UI Press, Cet. I, 1992, hal. 125).

Dari tulisan Bung Hatta tersebut, dikaitkan kasus KPK – Polri, kemana Presiden Joko Widodo memihak dan keputusan apa yang harus ditetapkan, meminjam istilah Presiden Joko Widodo sendiri—sudah sangat terang benderang—yaitu memihak dan mendahulukan moralitas di atas hukum. Ini sejalan dengan pendapat pakar hukum, politik, filsafat, sosiologi, dan budaya Indonesia yang menjunjung tinggi moral, etika, tanpa mengesampingkan aspek hukum positif.

Kritikan yang disampaikan Bung Hatta itu kepada Presiden Soekarno ketika itu bukanlah bentuk rongrongannya terhadap kekuasaan Presiden Soekarno. Tetapi murni koreksi terhadap kesalahan yang dipandangnya fatal.

Selain itu merupakan wujud dari rasa tanggung jawabnya mengawal konstitusi agar berjalan sebagaimana mestinya. Dorongan ingin memberikan masukan walaupun pahit dari seorang teman kepada sahabat karibnya yang menjabat presiden. Bung Hatta tidak ingin harkat dan martabat Presiden Soekarno jatuh akibat kesalahan yang dilakukannya, dan berpengaruh pula kepada peri kehidupan bangsadan negara Indonesia. Kelak, apa yang dikhawatirkan Bung Hatta terbukti. Pemerintahan Presiden Soekarno berakhir dengan tragis.

Masukan dan kritikan dalam pengelolaan negara juga disampaikan Bung Hatta kepada Presiden Soeharto. Misalnya terkait dengan masa jabatan presiden yang cukup dua periode saja. Tetapi Soeharto dan konco-konconya menafsirkan konstitusi menurut versi mereka sendiri. Maka, Soeharto pun menjadi presiden berkali-kali, sampai melengserkan diri tahun 1998. Dan kekuasaannya juga berakhir tidak elok.

Dalam menjalankan roda pemerintahan baik sebagai wakil presiden maupun sebagai Perdana Menteri Bung Hatta berpegang teguh kepada Pancasila dan UUD 1945 (konstitusi); dimana beliau ikut merumuskannya bersama-sama tokoh-tokoh lainnya.

Beliau sangat keras melawan bila presiden atau pihak-pihak tertentu membelokkan konstitusi atau menafsirkan secara keliru. Selama hayatnya dikandung badan, Bung Hatta tidak pernah durhaka (melawan/subversi) kepada pemerintah dan negara.

Karena beliau pakar di bidang tata negara—di samping juga pakar di bidang ekonomi, filsafat dan hukum—maka beliau mengetahui terjadi-tidaknya penyimpangan terhadap konstiusi.

Walaupun dengan Soekarno beliau berteman sangat akrab, bagaikan saudara kandung, tetapi bila dilihatnya temannya itu telah melencang dari konstitusi dan setelah diperingatkan tidak juga sadar maka beliau mengambil sikap tegas: mengundurkan diri sebagai wakil presiden.

Lengser kepabon tidaklah mengakhiri perjuangan Bung Hatta dalam menegakkan kebenaran. Perjuangan dapat dilakukan di luar sistem, langsung atau tidak langsung, lisan atau tulisan.

Sejak pengunduran diri Bung Hatta, julukan mereka yang dulunya terkenal dengan sebutan dwi-tunggal menjadi dwi-tanggal.

Banyak pihak menyesalkan pengunduran diri Bung Hatta itu dan ada pula yang mencoba memperbaiki hubungan itu tetapi tidak berhasil. Di sisi lain ada pula pihak-pihak yang senang dengan kondisi itu, agar agendanya dapat berjalan mulus.

Mereka pecah kongsi secara politik tetapi tetap baik dalam hal urusan kekeluargaan. Bung Hatta dapat memisahkan antara urusan politik dengan urusan kekeluargaan.

Konon, ketika Megawati menikah, Bung Karno meminta Bung Hatta menjadi walinya. Bung Hatta menyanggupinya dengan senang hati. Ketika ditanya orang mengapa beliau mau menuruti permintaan itu padahal Bung Karno ketika berkuasa sangat keras memusuhinya.Bung Hatta mengatakan bahwa mereka hanya berseberangan dalam politik, tetapi tidak ada permasalahan dalam urusan kekeluargaan. Luar Biasa! Inilah bentuk kenegarawanan mereka yang mungkin sulit dicari tandingannya di Tanah Air kita saat ini.

Andaikata Bung Hatta masih hidup mungkin beliau juga akan memberikan nasehat kepada Presiden Joko Widodo, salah satunya mungkin terkait dengan kasus KPK – Polri.

Sungguhpun begitu, kalau mau, Presiden Joko Widodo dapat membaca pesan yang disampaikan Bung Hatta tahun 1960 itu.

Tulisan yang menyebabkan Majalah Pandji Masjarakatdilarang terbit danHamka sebagai pimpinan redaksinya dipenjarakan Presiden Soekarno, kiranya dapat dijadikan salah satu referensi sebelum Presiden Joko Widodo mengambil keputusan terkait dengan kasus KPK – Polri itu yang saat ini menjadi perhatian masyarakat bahkan dunia.

Walaupun tulisan itu dibuat Bung Hatta tahun 1960 tetapi masih relevan dan aktual.

Dalam konteks permasalahan politik dan hukum sekarang ini, sebagian besarrakyat berharap agar presiden memihak kepada orang dan atau lembaga yang serius memberantas korupsi. Rakyat sangat geram kepada pelaku korupsi karena hanya mengayakan pelaku dan konco-konconya saja dan menyengsarakan masyarakat banyak.

Masyarakat kurang percaya kepada lembaga kepolisian dalam pemberantasan korupsi karena ditengarai banyak oknum-oknum di lembaga tersebut yang tidak bersih dan tidak juga merobah perilaku korupsinya.

Lain halnya dengan KPK, pimpinannya relatif bersih dan kinerja lembaganya juga membanggakan. Maka ketika pimpinan lembaga itu dipermasalahkan orang khalayak ramai mempersepsikan itu sebagai upaya pelemahan KPK dalam pemberantasan korupsi. Karena itu mereka melawan.

Terkait dengan penetapan calon Kapolri sebagai tersangka, dalam perspektif hukum positif, memang, seseorang baru dikatakan bersalah bila telah ditetapkan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap (incrah).

Tetapi dalam sudut pandang moral, etika, maupun budaya yang kita anut, seseorang dinilai tidak layak lagi memimpin, sekurang-kurangnya kepercayaan orang akan menurun, bila seorang pemimpin atau calon pemimpin disangkakan melakukan tindakan perbuatan yang melawan hukum, apalagi sangkaan itu menyangkut korupsi.

Perangkat hukum yang dimiliki Indonesia ditengarai tidak dapat sepenuhnya mengantisipasi perkembangan lingkungan yang sangat dinamis dan cepat, belum lagi jika dikaitkan dengan globalisasi.

Di sinilah perlunya keberanian dan gebrakan aparat penegak hukum melakukan terobosan, tradisi baru, termasuk presiden dalam mengambil keputusan politik yang berlandaskan moral, etika, bukan semata-mata berdasarkan hukum postif, dan sesuai pula dengan keinginan dan harapan sebagian besar masyarakat.

Dalam hal tententu presiden harus berani mengambil resiko politik. Asal tidak berkaitan KKN. Untuk pemberantasan korupsi sebagian besar rakyat Indonesia pasti mendukung presiden.

Semoga Presiden Joko Widodo mau mendengarkan masukan dan kritikan Bung Hatta kepada Presiden Soekarno, Soeharto, dan hakekatnya juga ditujukan kepada dirinya—dan tentu juga dari pihak terkait lainnya beliau agar tidak keliru kelak dalam menetapkan keputusan. Bukankah, sejarah adalah guru yang terbaik?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun