Mohon tunggu...
Rudi Hartono
Rudi Hartono Mohon Tunggu... PNS -

Ingin seperti padi: Semakin berisi semakin merunduk

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kaitan SDM Aparatur dengan Penataan Kelembagaan Pemerintah

12 Desember 2014   18:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:26 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam tulisan sulung (pertama) di Kompasiana (10/12) kami telah menjelaskan beberapa isu utama di bidang SDM Aparatur dalam kaitannya dengan penataan kelembagaan pemerintah. Paling tidak isu sentral itu meliputi: perbaikan sistem penerimaan (rekrutmen) SDM aparatur, peningkatan kualitas SDM aparatur yang mengelola lembaga, distribusi (penyebaran) SDM aparatur serta perubahan pola pikir (mind set) dan budaya kerja (culture set) organisasi.

1.Penerimaan (rekrutmen).

Hal pertama dan mendasar yang mutlak diberlakukan adalah terkait dengan sistem penerimaan (rekrutmen) SDM aparatur. Dari waktu ke waktu pemerintah terus menerus melakukan perbaikan sistemnya. Tetapi masih ada saja upaya penolakan terhadap perbaikan sistem itu. Tidak sedikit yang menolak itu justru dari pejabat tinggi pemerintahan, seperti gubernur dan bupati. Sistem terakhir yang diterapkan adalah penggunaan Computer Assistence Test (CAT). Beberapa daerah di Indonesia “menolak” sistem ini dengan alasan kurangnya peralatan dan belum siapnya seluruh peserta untuk mengikuti tes seperti itu karena tidak semua peserta yang melek teknologi (komputer). Menurut mereka jangan disamakan manusia yang tinggal di pulau Jawa dan Sumatera dengan yang tinggal di Papua. Dalam kadar tertentu alasan tersebut ada juga benarnya.

Tetapi yang harus diingat adalah subtansi dari disempurnakannya sistem rekrutmen aparatur sipil negara itu. Yaitu untuk mendapatkan aparatur yang benar-benar berkualitas sesuai dengan yang dibutuhkan. Juga untuk memberikan peluang yang sama kepada semua anak bangsa untuk menjadi aparatur sipil negara. Selama ini sudah jamak diketahui penerimaan aparatur sipil negara selalu diisukan dengan kedekatan keluarga dan uang.

Itulah sebabnya ada pihak memandang sinis alasan yang dikemukan pejabat yang menolak penerapan CAT tersebut. Ada apa sebenarnya dibalik penolakan tersebut? Apakah memang murni masalah teknis tersebut? Apakah tidak ada udang di balik batu?

Dengan penerapan CAT oknum-oknum nakal tidak dapat lagi leluasa bermain dalam penerimaan aparatur sipil negara tersebut. Karena hasil tes dapat dilihat tidak lama setelah peserta selesai mengikuti ujian. Sebagian besar peserta merasa puas karena hasilnya transparan dan karena itu mereka dapat menerima hasilnya dengan lapang dada.

Berbeda dengan sistem lama, dimana hasil ujian tidak langsung diketahui peserta, sehingga “untuk masuk angin” cukup besar.

Sebagian oknum pejabat dan kroninya dan juga peserta umum ada yang belum/tidak siap dengan penerapan CAT ini. Mereka inilah yang selalu menyampaikan sisi negatifnya penggunaan CAT, dan jarang sekali mengemukakan sisi positifnya. Untuk itu mereka akan berupaya terus supaya penerapan CAT itu dibatalkan, sekurang-kurangnya ditunda dulu.

Tetapi pemerintah maju terus. Dan memang sudah seharusnya begitu. Dengan penerapan sistem yang baru ini diharapkan aparatur yang terpilih benar-benar yang berkualitas. Sehingga, ketika bekerja di sebuah lembaga, aparatur yang terpilih itu dapat dengan cepat beradaptasi dan tidak perlu lama “memolesnya” untuk menjadi aparatur sipil negara sesuai dengan komptensi yang dimilikinya.

Penerimaan yang bersih dari unsur nefotisme dan uang diharapkan akan mendapatkan aparatur sipil negara yang mempunyai kompetensi danjauh dari perilaku korupsi.

Dalam bekerja akan kelihatan mana aparatur yang diterima karena kompetensinya dan mana pula yang diterima karena unsur-unsur nefotisme atau uang.

Kasihan sekali dengan aparatur yang lulus karena nefotisme atau dengan jalan menyogok atau karena tidak keinginan sendiri. Mereka-mereka seperti ini akan sulit menempatkan diri sebagai abdi masyarakat, sulit beradaptasi dengan lingkungan, sulit menerima arahan, sulit bekerja sebagai kesatuan tim (team work), konon pula lagi untuk pengembangan karir. Mereka mereka baru bisa bekerja bila diberikan arahan terus-menerus.

2.Kualitas SDM aparatur;

Dari segi kuantitas (jumlah), aparatur yang bekerja di lembaga pemerintah relatif cukup memadai, walaupun rasionya dengan jumlah penduduk relatif kecil.

Yang menjadi masalah adalah kualitasnya (skill). Diperkirakan aparatur yang mempunyai skill jumlahnya lebih kecil daripada yang tidak memiliki (unskill).

Banyak hal yang menyebab terjadinya kondisi ini. Pertama, aparatur yang ada sekarang ini kebanyakan hasil seleksi sistem lama, yang belum terlalu mementingkan segi kualitasnya. Kedua, ada anggapan bahwa skill seseorang tidak terlalu berkorelasi dengan karier/kesejahteraan. Tiga, tingkat pendidikan aparatur ketika mengikuti tes rendah sehingga berpengaruh pada skill-nya.

Akibatnya banyak aparatur ditempatkan sebagai tenaga administrasi. Tenaga administrasi memang diperlukan dalam sebuah lembaga, tetapi jumlahnya semestinya tidaklah terlalu banyak. Yang banyak itu mestinya tenaga teknis/fungsional. Karena tidak punya kompetensi yang memadai maka keberadaan tenaga administrasi tersebut seperti “mentimun bungkuk: masuk tidak menambah, keluar tidak tidak mengurangi. (Ungkapan ini sangat dikenal di kalangan orang Melayu, Riau).

3.Distribusi (penyebaran).

Ketimpangan aparatur sipil negara dapat dilihat antara yang tinggal di perkotaan dengan yang di pedesaan, antara di lembaga yang “basah” dengan yang di tempat “kering”.

Ketika akan melamar sebagai aparatur, berjanji bersedia ditempatkan dimana saja, tetapi setelah diterima banyak yang mengajukan pindah (umumnya ke kota) dengan berbagai alasan. Itu pulalah sebab sebagian pemerintah daerah menolak pelamar yang luar daerahnya. Mereka khawatir yang diterima itu nanti tidak sungguh-sungguh mau berkarier di daerah tempat dia melamar.

Ada kesan pada lembaga-lembaga tertentu kelebihan aparaturnya, sedangkan pada lembaga-lembaga tertentu justru kekurangan. Lembaga-lembaga yang aparatur membengkak biasanya terdapat pada lembaga yang dananya besar atau adanya tunjangan/insentif khusus. Lembaga-lembaga tersebuat antara lain Dinas Pendapatan Daerah, Bappeda, Badan Pelayanan Perizinan Terpadu, Dinas Pendidikan, Dinas Pekerjaan Umum, Inspektorat, Biro Keuangan, dlsb.

Pemberian tunjangan khusus kepada lembaga-lembaga tertentu seharusnya memperhatikan asas keadilan, tidak semata-mata berdasarkan adanya payung hukum untuk memberikan tunjangan khusus tersebut.

Selain itu, sebaiknya pemberian tunjangan khusus memperhatikan beban kerja atau spesifikasi tugas. Dengan demikian seharusnya tidak semua aparatur yang mendapat tunjangan khusus itu. Seharusnya hanya mereka yang mempunyai beben kerja yang berat atau yang mempunyai spesifikasi tertentu saja yang mendapat tambahan tunjungan tersebut. Petugas administrasi tentu tidak bisa disamakan dengan petugas yang mengutif pajak ke lapangan.

Selama ini hal tersebut kurang diperhatikan. Yang penting bekerja di lembaga tersebut. Akibatnya orang berbondong-bondong pindah ke lembaga tersebut. Kononnya tidak segan-segan pula mengeluarkan sejumlah uang supaya bisa pindah, walaupun sulit dibuktikan.

Di sisi lain ada pula lembaga “kering”, lembaga yang dana/proyeknya tidak besar. Banyak yang tidak mempedulikan hal ini. Dan menganggap itu sebagao “takdir” lembaga tersebut.

Lembaga jangan hanya dilihat dari apa yang dihasilkan, tetapi lihat dari urusan yang dijalankannya. Tidak mungkin semua lembaga itu sama, masing-masing sudah tugas dan funsinya (Tupoksinya). Lembaga kering itu harus diperhatikan supaya kesan negatif itu bisa hilang. Misalnya penempatan personilnya yang bukan asal-asalan saja. Apalagi tempat “membuang” aparatur yang bermasalah.

4.Pola pikir dan budaya kerja organisasi.

Sebaik apapun sistem yang dibangun tetapi bila tidak diikuti dengan perubahan pola pikir aparatur maka penataan kelembaaan yang dilakukan akan menjadi sia-sia.

Perubahan pola pikir dan budaya kerja itu dimulai dari pimpinan yang tertinggi. Dalam konteks itu perilaku yang ditunjukkan Presiden Joko Widodo dengan memberi contoh nyata seperti naik pesawat kelas ekonomi, patut diapresiasi. Setidaknya begitulah pandangan dari sisi organisasi, tidak dari sisi politik.

Adanya kritikan terhadap perilaku presiden kita itu adalah hal yang biasa. Berbuat dianggap sebagai pencitraan, sedangkan kalau tak berbuat dianggap apa bedanya dengan pemimpin terdahulu. Apa yang dilakukan persiden itu tentu bukan pencitraan, karena yang namanya pencitraan tidak akan bertahan lama, suatu ketika akan tampaklah pribadi yang sesungguhnya. Perilaku baik yang ditunjukkan presiden itu tidak hanya beliau lakukan setelah menjadi prisiden. Tetapi jauh sebelum itu, yakni tatkala beliau masih menjadi walikota dan gubernur.

Orang bijak mengatakan “hubungan antara pemimpin dengan yang dipimpin tak ubahnya seperti tongkat dengan bayang-banyangnya; bagaimana bayang-bayangnya bisa lurus bila tongkatnya sendiri bengkok?”

Kerisauan presiden melihat perilaku masyarakat Indonesia menimbulkan ide “Revolusi Mental”, yang oleh beberapa kalangan dikritik. Terlepas dari kekurangnnya bangsa ini memang perlu pembenahan “ekstrim” dan terlebih dahulu itu harus dicontohkan oleh pejabat tertingginya.

Perilaku yang ditunjukkan Presiden Joko Widodo itu hendaknya juga menurun kepada pejabat yang di bawahnya, seperti menteri, gubernur, bupati/walikota, camat, lurah dan kepala desa atau sebutan lainnya.

Di tingkat menteri (orangnya) mungkin relatif dapat ditiru karena menteri itu diangkat presiden setelah mengetahui komitmen dan akan mendukung visi, misi, program, kegiatan maupun kebijaknya. Tetapi bagaimana dengan pejabat eselon I dan II yang terdapat dikementerian itu? Belum lagi pejabat eselon III, IV dan staf lainnya. Jangan sampai menteri itu seperti seorang pendekar di sarang penyamun.

Lain halnya dengan gubernur, bupati/walikota, camat, lurah dan kepala desa. Sikap mereka belum tentu seirama dengan presiden. Mantan Presiden Susilo Bambang Yodhoyono pernah berkeluh kesah karena adanya gubernur yang “melawan” beliau. Begitu juga pernah kita dengan gubernur tidak sejalan dengan bupati. Dan, ada juga kita dengan bupati kurang sejalan dengan camat, lurah dan kepala desa.

Perilaku yang tidak mau berubah dari sebagian aparatur sipil negara, sedangkan kondisi sekarang menuntut perubahan, pada akhirnya hanya akan mendatangkan malapelata. Betapa banyak pejabat yang terjerat kasus hukum seperti korupsi, korbannya seakan silih-berganti dan berjatuhan. Di sisi lain media tak selalu memberitakan masalah tersebut. Pertanyaannya apakah pelaku korupsi tersebut tidak mengetahui/mengikuti berita tersebut? Apakah mereka sengaja tidak mengikutinya supaya fikiran untuk korupsi itu tidak terganggu? Atau mereka mengetahuinya tetapi mengangap “semuanya bisa diatur?” Wallahu ‘alam.

Rudi Hartono, Magister Profesional Pengembangan Masyarakat IPB, peminat/pemerhati masalah organisasi pemerintah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun