Ilustrasi malam hari. (Sumber: google.com/search?q=tidur+malam+hari)
Ya. Di kampungku orang cepat tidur di malam hari. Ini berlaku tidak saja bagi pasangan suami-istri—lebih-lebih pengantin baru—tetapi juga untuk janda-duda, bujang-gadis, tua-muda, besar dan kecil.
Bang Mas’ud, suatu hari bercerita kepadaku. “Setelah kenduri di siang hari, malamnya sesuai dengan adat-istiadat, aku diantar teman-teman ke rumah istriku untuk malam pertama. Kami pun berbincang-bincang ditemani teh hangat dan makanan. Tetapi, lama-kelamaan teman dan tamu makin banyak yang datang. Temanku itu yang semula ingin pulang terpaksa menunggu dulu. Teman dan tamu yang lain tidak juga pulang meski hari sudah larut malam. Aku jadi gelisah. Aku juga capek dan ingin tidur tetapi tidak mungkin menuruh mereka pergi. Merekalah yang seharusnya mengerti bahwa malam itu adalah malam pertamaku dengan istriku. Akhirnya aku dapat akal. Aku pura-pura sakit perut. Makin lama makin sakit. Melihat itu teman dan tamu yang lain segera menyuruhku masuk kamar. Istriku pun masuk kamar juga. Pintu segera aku kunci. Istriku mengira aku benar-benar sakit perut dan berusaha mencarikan obatnya. Aku katakan padanya, Abang tidak sakit perut, hanya pura-pura saja, supaya teman dan tamu yang lain cepat pulang.Mendengar itu istriku tersenyum sambil mencubit pinggangku”.
Ketika kecil dulu, setiap mau tidur Emak menyuruhku membuka seluruh pakaian, celana dan baju. Cukup pakai kain sarung. Ketika ditanya mengapa harus begitu, sambil menyusukan adikku yang masih kecil Emak menjawab, “Kalau tidur pakai celana-baju, nanti kalau mati jadi rusa. Mau, nggak jadi rusa”.
Aku tidak menjawab. Aku rebahkan badan di kasur, pakai bantal dan guling. Tidak berapa lama, karena capek, aku pun tidur. Begitulah setiap malam.
Aku tak tahu apakah kewajiban membuka seluruh pakaian juga Emak sampaikan kepada kakak dan adik perempuanku.
Sejak itu kalau aku tidur hanya memakai selumut. Kainnya boleh dua, bila diperlukan boleh memakai selumut tebal. Sebagian penduduk ada selimut tebalnya terbuat dari kain bekas tepung yang berbahan belacu. Selimut tebal itu sangat perlu karena di kampungku udara sangat dingin di malam hari. Karena perkampunganku terletak di perbukitan. Di perkarangan penduduk tumbuh pohon kelapa, durian, manggis, rambutan, pisang dan sebagainya. Tidak jauh dari rumah terhampar pula kebun karet masyarakat, yang menunjukkan bahwa sumber mata pencarian penduduk di kampungku adalah sebagai penyadap karet. Selain kebun karet, semak belukar dan hutan masih banyak di kampungku. Pagi hari aku malas untuk bangun, selain karena dingin, dan malas cuci muka, juga karena karena badan terasa capek, karena asyik bermain sepanjang hari.
“Tono, bangun, salat subuh”,kata Emak. Itu akan terus diulangi ibu sampai aku bangun dan salat subuh. Sesudah itu kalau tak ada kegiatan aku kembali tidur-tiduran, sampai matahari timbul di ufuk timur.
Setelah masuk sekolah Ibu tetap menyuruh seperti itu. Kalau ada PR cepat diselesaikan, atau kerjakan siang hari. Setelah dewasa, kebiasaan itu terus kupertahankan. Entah pengaruh tidur cepat itu atau karena yang lain, aku jarang tidur di siang hari.
***
Cepatnya orang tidur dikampungku mungkin disebabkan oleh keletihan setelah beraktivas di siang hari. Malam hari mereka harus tidur cepat untuk memulihkan kondisi tubuh, dan supaya besok pagi cepat bangun untuk kembali bekerja.
Selain itu mungkin juga disebabkan tidak adanya hiburan di malam hari. Yang ada paling hanya radio atau tape, itu pun tidak dimiliki semua orang. Hanya orang kaya saja yang memilikinya. Kalau pun ikut mendengar radio atau tape tersebut tidak akan bisa lama menikmatinya karena setelah sekian lama dihidupkan radio atau tape tersebut dimatikan pemiliknya dengan alasan mesinnya sudah panas. Bisa jadi itu hanya sekadar alasan yang dibuat-buat. Alasan sebenarnya mungkin karena si pemilik radio atau tape merasa tidak nyaman dengan banyaknya orang yang datang.
Kedai-kedai pun tidak banyak buka di malam hari, selain juga karena kedai waktu itu juga tidak banyak di kampungku . Aktifitas kedai lebih banyak dijalankan di siang hari, kira-kira mulai jam 2 petang sampai datang waktu maghrib.
Di kedai-kedai tersebut penduduk berkumpul, umumnya lelaki dewasa, mereka ngobrol ngalor-ngidul, atau main domino. Mereka tidak memasang taruhan. Paling-paling, kalau kalah di telinganya digantungkan 2 baterai bekas. Itu sudah cukup sebagai hukuman.
Anak-anak dan remaja lelaki memanfaatkan waktu senggang di sore hari untuk melaksanakan permainan rakyat seperti sepak raga, gasing, layang-layang, seluncur, galah, dan sebagainya.
Anak-anak dan remaja perempuan pun tidak kalah pula. Mereka juga bermain sesuai kodratnya, seperti main seimbang. Ibu-ibunya kadang-kadang bermain telempong.
***
Di kampungku orang cepat nikah, dan kadang cepat pula cerainya. Nikah-cerai adalah hal yang lumrah terjadi di kampungku. Kalau pun dibicarakan, sebentar saja: mengapa dia bercerai, siapa selingkuhannya. Memang sebelum terjadi perceraian kedua pasangan diberikan nasehat oleh keluarga masing-masing. Tetapi bila dipandang tidak bisa diperbaiki lagi, cerailah jalan ke luarnya.
Ada juga kadang-kadang terjadi sebuah pasangan sudah thalak 3 kali tetapi mau berbalik lagi. Maka diupahlah orang untuk menikahi mantan istrinya, dengan syarat pernikahan itu hanya semalam saja. Malam hari setelah menikah hari pria yang diupah itu pun pulang ke rumah istrinya. Kita tak tahu apakah mereka melakukan hubungan suami-istri atau tidak. Yang jelas, sesuai perjanjian, sebelum matahari terbit pria itu sudah meninggalkan rumah “istrinya” itu dan sekaligus menjatuhkan thalak. Selanjutnya sang mantan suami dapat menikah lagi dengan istrinya.Pekerjaan ini disebut Cina Buta.
Di mata penduduk di kampungku tidak masalah duda menikah dengan gadis atau janda dengan bujangan. Yang penting pasangan itu suka sama suka, dan dilaksanakan menurut syari’at agama dan tidak melanggar adat-lembaga. Akan lebih baik bila menikah secara resmi di kantor KUA, tetapi kalau tak bisa dan terpaksa boleh menikah secara agama saja.
Soal resepsi itu bisa dimusyawarahkan antara keluarga. Kalau mampu boleh diadakan pesta. Tetapi kalau tidak, cukup dibacakan doa selamat saja, dengan mengundang seorang malim atau orang Siak (sebutan penduduk kampungku untuk orang ahli dalam agama/ustad).
***
Bila anak perempuan di kampungku sudah mulai dewasa—ditandai dengan mulai tertarik kepada lawan jenisnya, kedatangan haid dan perubahan fisik seperti membesarnya payudara, pinggul dan kebetulan tidak pula bersekolah—meraka diminta keluarganya untuk segera menikah. Orang tua sang gadis khawatir kalau lambat menikah, nanti tak laku-laku dan takutterjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti hamil di luar nikah. Bila itu terjadi akan menimbulkan aib bagi keluarganya.
***
Hal yang sama juga ditujukan kepada anak laki-laki, apalagi bila gelagat anak laki-laki itu menunjukkan minat yang luar biasa untuk kepada perempuan. Ya, nikah saja. Soal bagaimana nanti setelah menikah, itu nanti pula dipikirkan. Kata orang kampungku, kalau soal memberi makan anak-istri, sepajang kita berusaha pasti ada rezeki. Katanya lagi, semut di lobang batu pun bisa makan, apalagi manusia. Dan semua makhluk sudah dijamin rezekinya oleh Allah Swt.
Aku beruntung karena setelah tamat SD, aku terus melanjutkan pendidikan ke SMP, SMA, dan kuliah ke ibu kota provinsi. Teman-temanku karena tidak bersekolah lagi, entah karena tidak mau sekolah atau karena orang tunya tidak mampu, segera menikah. Termasuk Mashur, yang menikah dengan Jamilah, gadis yang pernah aku taksir. Dengan Jamilah itu kami pernah berkirim-kiriman surat cinta. Dalam salah satu surat aku mengiriminya dengan sebungkus bedak Marina yang aku ambil dari Bapakku. Yang mengantarkan surat itu adalah Gunawam yang pacaran dengan Elly Khadam. Surat Gunawan ini aku pula yang mengantarkannya. Gunawan akhirnya menikah dengan Elly Khadam itu, tetapi bercerai setelah beranak dua. Jamilah dan Elly Khadam pun membalas surat kami dengan mengirimkan sebuah sapu tangan yang diseterika dengan rapi. Bukan main senangnya hati kami. Kami terus berkirim-kiriman surat, disertai dengan pantun. Pada suatu pagi aku bertemu dengan Mas’ud dan Jamilah yang baru pulang mandi. Rambutnya basah. Kami saling berpandangan. Dan terus pergi ke rumah masing-masing.
Selain dengan Jamilah aku pernah berkirim surat dengan Irta, anak gadis Pak Kepala Desa. Pernah juga mendekati Nurhayati, yang ibunya pernah nikah sebentar dengan Bapakku.
Tapi anehnya aku tak mau bertemu langsung dengan gadis yang ku taksir. Bila berpapasan jalan, aku segera mencari jalan lain, agar tak berpapasan dengannya. Malu rasanya bila sempat ketemu, apalagi kalau berbincang-bincang. Itu tak pernah aku lakukan. Aku juga tak mau pacaran diketahui orang tua dan keluarga yang lain. Walaupun saya yakin mereka tahu juga dengan siapa saya pacaran. Emak dan Bapak tidak pernah mempertanyakan soal pacaran ini. Mungkin karena pacaran yang kujalankan itu tidak melewati batas-batas agama dan adat-istiadat.
Aku mudah tertarik dengan wanita tetapi cepat pula bosan. Bila melihat wanita cantik hatiku sering bergetar, dan berusaha memandangnya mulai dari rambut sampai ujung kaki. Tetapi aku tidak pernah berani mendekati. Bila kulihat wanita yang kutaksir itu dekat dengan seorang lelaki, aku segera menjauh karena kukira itu pacarnya. Dikemudian hari banyak dugaanku yang meleset. Sebaliknya ada lelaki dengan “modal”pas-pasan tetapi berhasil mendapatkan wanita pujaannya karena dia memang berusaha sungguh-sungguh. Benarlah ungkapan yang mengatakan “Man Jaddah wa Jaddah” (siapa yang berusaha sungguh-sungguh akan berhasil). Nah, justru di sinilah kekuranganku. Wanita yang pernah kudekati mungkin berpikiran aku tak serius dengannya. Karena itu kemudian dia berpaling kepada lelaki lain dan akhirnya menikah.
Tetapi pernah juga waktu di SMA aku begitu tertarik dengan seorang gadis, Salma, teman lain kelas, tetapi dia tidak menanggapi seperti yang aku inginkan. Begitu juga Helfi Desrita, adik kelas, aku memang ingin serius dengannya tetapi sekali lagi aku uluran tanganku tidak disambut sebagaimana yang kuharapkan. Aku sempat jatuh sakit. Tetapi untung bisa bangkit lagi.
***
Aku tidak tahu apakah ada kaitan antara cepat tidur di kampungku itu dengan banyaknya anak yang lahir, atau tingginya pertumbuhan penduduk. Faktanya sampai sekarang pertumbuhan penduduk di kampungku itu biasa-biasa saja, tidak terlalu tinggi dan tidak pula terlalu rendah. Di bandingkan dengan desa-desa tetangganya, pertumbuhan penduduk di desaku lebih rendah.
Tetapi apakah itu ada kaitannya dengan pencanangan program KB yang dilaksanakan pemerintah pada tahun 80-an. Memang program tersebut mendapat sambutan antusias dari masyarakat.
Keberhasilan tersebut tentu tak lepas dari peran Kepala Desa, pemuka masayarakat, adat, dan agama, yang menyokong program tersebut.
Pola pikir masyarakat di kampungku tentang KB juga dipengaruhi oleh pemikiran keagamaan yang sejalan dengan pemikiran Muhammadiyah, yang berpikir rasional. Walaupun mereka tidak resmi menjadi anggota Muhammadiyah tetapi cara-cara ibadah masyarakat di kampungku sejalan dengan yang dianut Muhammadiyah.
Selanjutnya juga andil dari tenaga penyuluh KB yang memberikan penjelasan yang mudah diterima masyarakat. Misalnya dengan menyebutkan KB itu bisa mengatur jarak kehamilan. KB bukan melarang orang untuk beranak atau membunuh janin. Nanti kalau anaknya sudah besar dan ekonomi keluarga sudah baik, boleh hamil lagi.KB juga bisa membantu kesehatan ibu, yang kalau beranak terus-menerus bisa menurunkan kesehatannya.
Karena program KB dan PKK di kampungku berjalan sangat baik sehingga pemerintah memberi penghargaan. Orang yang pertama-tama paling bahagia tentu saja Kepala Desa. Dalam rapat-rapat resmi di kecamatan Pak Camat memuji Kepala Desa karena sukses menjalankan program pemerintah.
Pengecualian pelaksanaan program KB terjadi pada keluarga Mansyur, yang melarang istrinya, Siti Nurbaya, untuk ber-KB. Maklum saja mereka sudah lama menikah tetapi belum juga dikarunia keturunan. Syahdan ketika mengetahui istrinya hamil, bukan main senang hati Mansyur ini. Tidak lama setelah kelahiran anaknya yang pertama, istrinya hamil lagi. Ketika lahir anaknya yang ketika, ada orang menyarankan agarnya istrinya ber-KB saja, kasihan menengok istrinya yang sakit-sakitan, maklumlah melahirkan setelah umurnya sudah mulai tua. Mansyur bergeming.
Menurut keterangan Pak Cik Kola, Mansyur pernah berkata: “Kalau istriku ber-KB, aku akan pergi dari rumah ini (menceraikannya).” Mendengar penjelasan itu Pak Cik Kola hanya bisa menelan ludah. Kata Pak Cik Kola, “Mansyur itu orangnya keras, susah dinasehati”.
Demikianlah, Siti Nurbaya melahirkan sampai 9 orang anak. Boleh dikatakan wanita ini melahirkan setiap tahun (dikampungku ini disebut susun paku) sampai dia meninggal.
Anak Emak juga susun paku, juga berjumlah 9 orang. Ketika Emak menikah belum ada program KB. Program itu baru ada ketika usia Emak sudah di atas 40. Tetapi Emak tetap ikut KB. Aku pernah melihat pilnya, walaupun waktu itu aku tak belum paham benar tentang KB tersebut. Anak-anak lain ada yang mengambil pil KB emaknya, dimakannya. Ada juga anak lain, Ratnawilis, meniup semacam balon. Setelah sekian lama baru aku tahu, rupanya yang saya sangka balon itu rupanya kondom.
Pada kelahiran anaknya yang ke 7 itu kesehatan Situ Nurbaya sangat menurun. Badannya kurus. Tak mau makan.
Suatu hari anaknya sulung, Nurbaiti, memboncengnya naik Honda (sebutan penduduk di kampungku untuk motor), untuk dibawa berobat ke ibukota kecamatan. Malang baginya, emaknya itu jatuh dari motor, tetapi tidak diketahui Nurbaitu. Mungkin karena jalannya buruk, jalan tanah yang bergelombang-gelombang.Dia baru sadar ibunya tidak ada setelah sampai di ibukota kecamatan. Dia cemas sekali, kemudian bergegas mencari ibunya ke arah desa. Rupanya, ibunya dibawa orang pulang ke rumah dalam keadaan tidak sadarkan diri. Oleh keluarga emaknya itu dilarikan ke rumah sakit di ibukota provinsi yang jaraknya lebih dari 200 km. Sesampai di RSUD dimasukkan ke dalam ruangan ICU, lalu ditangani tim medis sesuai SOP yang berlaku. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Petugas medis mengatakan, ibunya, Siti Nurbaya, tidak bisa ditolong lagi.
***
Di desa-desa lain program KB tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan Pemerintah. karena ada penolakan dari sejumlah tokoh agama setempat. Mereka berpendapat berdosa bila ber-KB karena dianggap membunuh. Selain itu mereka tidak dapat menerima pendapat yang mengkaitkan banyak anak dengan kemiskinan. Mereka mengatakan, jangan takut miskin lantaran beranak banyak, bukankah rezeki semua makhluk sudah dijamin Allah Swt. Mereka pun segera mempengaruhi keluarga dan masyarakat lainnya. Kepala Desa sebagai wakil pemerintah di tingkat desa tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya sebagian kecil saja yang bisa dipengaruhi Kepala Desa.
***
Sampai hari ini—walaupun listrik sudah menyala, jalan-jalan sudah beraspal, penduduk sudah banyak yang bersekolah tinggi—tetap saja orang di kampungku tidur cepat ....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H