Mohon tunggu...
Rudi Hartono
Rudi Hartono Mohon Tunggu... PNS -

Ingin seperti padi: Semakin berisi semakin merunduk

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar dari Kesuksesan Karier Jenderal Besar Soedirman, Nasution, dan Soeharto

5 Oktober 2015   12:22 Diperbarui: 5 Oktober 2015   12:32 1869
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanggal 5 Oktober 1997, Pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden yang berisi penetapan pemberian Bintang Lima (Jenderal Besar) kepada Jenderal Soedirman, Jenderal Abdul Haris Nasution, dan Jenderal Soeharto.

Jenderal Besar adalah pangkat tertinggi yang dapat dicapai oleh seorang perwira TNI AD. Pemberian pangkat ini hanya untuk perwira-perwira yang sangat berjasa. Selebihnya, pangkat jenderal (4 bintang) yang biasanya dicapai oleh perwira-perwira. Pangkat ini ditandai dengan lima bintang emas di pundak. Pangkat ini sepadan dengan Laksamana Besar di TNI Angkatan Laut dan Marsekal Besar di TNI Angkatan Udara.

Penghargaan itu diberikan karena ketiganya dinilai telah berjasa kepada negara dan bangsa, khususnya di bidang kemiliteran.

Berikut catatan singkatnya.

Berkas:Sudirman.jpg
Berkas:Sudirman.jpg

JENDERAL BESAR SOEDIRMAN

Jenderal Besar Soedirmanlahir 24 Januari 1916 – meninggal 29 Januari 1950 pada umur 34 tahun adalah seorang perwira tinggi Indonesia pada masa Revolusi Nasional Indonesia.

Semasa sekolah Soedirman tumbuh menjadi seorang siswa rajin, aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler, termasuk mengikuti program kepanduan (semacam Pramuka) pada organisasi Islam Muhammadiyah.

Saat di sekolah menengah, Soedirman mulai menunjukkan kemampuannya dalam memimpin dan berorganisasi, dan dihormati oleh masyarakat karena ketaatannya pada Islam.

Setelah berhenti kuliah keguruan, pada 1936 ia mulai bekerja sebagai seorang guru, dan kemudian menjadi kepala sekolah, di sekolah dasar Muhammadiyah. Ia juga aktif dalam kegiatan Muhammadiyah lainnya dan menjadi pemimpin Kelompok Pemuda Muhammadiyah pada tahun 1937.

Setelah Jepang menduduki Hindia Belanda pada 1942, Soedirman tetap mengajar.

Pada tahun 1944, ia minta izin kepada Pimpinan Muhammadiyah untuk bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA), memenuhi panggilan Ibu Pertiwi dan ajaran agama, jihad. Mula-mula ia menjabat sebagai komandan batalion di Banyumas.
Selama menjabat, Soedirman bersama rekannya sesama prajurit melakukan pemberontakan, namun kemudian diasingkan ke Bogor.

Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Soedirman melarikan diri dari pusat penahanan, kemudian pergi ke Jakarta untuk bertemu dengan Presiden Soekarno.

Ia ditugaskan untuk mengawasi proses penyerahan diri tentara Jepang di Banyumas, yang dilakukannya setelah mendirikan divisi lokal Badan Keamanan Rakyat.

Pasukannya lalu dijadikan bagian dari Divisi V pada 20 Oktober oleh panglima sementara Oerip Soemohardjo, dan Soedirman bertanggung jawab atas divisi tersebut.

Pada tanggal 12 November 1945, dalam sebuah pemilihan untuk menentukan panglima besar TKR di Yogyakarta, Soedirman terpilih menjadi panglima besar, sedangkan Oerip, yang telah aktif di militer sebelum Soedirman lahir, menjadi kepala staff.

Sebelum ikut pemilihan Panglima Besar TKR ia terlebih dahulu minta izin kepada pimpinan Muhammadiyah Yogyakarta.

Jenderal Soedirman dikenal sebagai anggota TNI yang taat menjalankan ajaran Islam. Sesudah menjabat Panglima Besar ia tetap sering ikut pengajian malam selasa di gedung ‘Aisyiyah Kauman. Ia sangat menghormati tokoh Muhammadiyah yang hadir dalam Pengajian tersebut. Ia memiliki wibawa kuat. Patuh menjalankan keputusan persyarikatan. Ia mampu menyerap spirit Ahmad Dahlan, pendiri persyarikatan Muhammadiyah.

Sembari menunggu pengangkatan, Soedirman memerintahkan serangan terhadap pasukan Inggris dan Belanda di Ambarawa.

Pertempuran ini dan penarikan diri tentara Inggris menyebabkan semakin kuatnya dukungan rakyat terhadap Soedirman, dan ia akhirnya diangkat sebagai panglima besar pada tanggal 18 Desember.

Selama tiga tahun berikutnya, Soedirman menjadi saksi kegagalan negosiasi dengan tentara kolonial Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia, yang pertama adalah Perjanjian Linggarjati –yang turut disusun oleh Soedirman – dan kemudian Perjanjian Renville –yang menyebabkan Indonesia harus mengembalikan wilayah yang diambilnya dalam Agresi Militer I kepada Belanda dan penarikan 35.000 tentara Indonesia.

Ia menjadi lawan berat dari Jenderal Spoor, Panglima Besar Angkatan Bersenjata Kerajaan Belanda.

Ia juga menghadapi pemberontakan dari dalam, termasuk upaya kudeta pada 1948. Ia kemudian menyalahkan peristiwa-peristiwa tersebut sebagai penyebab penyakit tuberkulosis-nya; karena infeksi tersebut, paru-paru kanannya dikempeskan pada bulan November 1948.

Pada tanggal 19 Desember 1948, beberapa hari setelah Soedirman keluar dari rumah sakit, Belanda melancarkan Agresi Militer II untuk menduduki Yogyakarta.

Di saat pemimpin-pemimpin politik berlindung di kraton sultan, Soedirman, beserta sekelompok kecil tentara dan dokter pribadinya, melakukan perjalanan ke arah selatan dan memulai perlawanan gerilya selama tujuh bulan.

Awalnya mereka diikuti oleh pasukan Belanda, tetapi Soedirman dan pasukannya berhasil kabur dan mendirikan markas sementara di Sobo, di dekat Gunung Lawu.

Dari tempat ini, ia mampu mengomandoi kegiatan militer di Pulau Jawa, termasuk Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto. Ketika Belanda mulai menarik diri, Soedirman dipanggil kembali ke Yogyakarta pada bulan Juli 1949. Meskipun ingin terus melanjutkan perlawanan terhadap pasukan Belanda, ia dilarang oleh Presiden Soekarno. Penyakit TBC yang diidapnya kambuh; ia pensiun dan pindah ke Magelang.

Soedirman wafat kurang lebih satu bulan setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.
Kematian Soedirman menjadi duka bagi seluruh rakyat Indonesia. Bendera setengah tiang dikibarkan dan ribuan orang berkumpul untuk menyaksikan prosesi upacara pemakaman. Soedirman terus dihormati oleh rakyat Indonesia.

Perlawanan gerilyanya ditetapkan sebagai sarana pengembangan esprit de corps bagi tentara Indonesia, dan rute gerilya sepanjang 100-kilometre (62 mi) yang ditempuhnya harus diikuti oleh taruna Indonesia sebelum lulus dari Akademi Militer.

Soedirman ditampilkan dalam uang kertas rupiah keluaran 1968, dan namanya diabadikan menjadi nama sejumlah jalan, universitas, museum, dan monumen. Pada tanggal 10 Desember 1964, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Berkas:Jenderal TNI AH Nasution.png
Berkas:Jenderal TNI AH Nasution.png

JENDERAL BESAR DR. ABDUL HARIS NASUTION

Jenderal Besar Dr. Abdul Haris Nasution lahir di kampung Huta Pungkut, Tapanuli, 3 Desember 1918.

Sewaktu kecil, pagi hari ia belajar di sekolah umum, sore di madrasah, dan malam negaji di musholla.

Pada tahun 1932, Nasution menamatkan HIS dan melanjutkannya ke sekolah Raja (HIK) di Bukttinggi, Sumatera Barat, Sekolah Guru. Usianya ketika 14 tahun. Tahun 1935, Nasution berangkat ke Bandung untuk menamatkan Sekolah Guru. Pada tahun 1937, Nasution menamatkan pelajarannya dan menjadi guru di Bengkulu. Pada tahun 1940, Nasution kembali ke Bandung. Kali ia datang sebagai kadet (taruna) Corps Opleiding Reserve Officieren (CORO), korps pendidikan perwira cadangan Kerajaan Belanda. Coro sengaja didirikan Belanda untuk membanti kepentingan perangnya.

Pilihannya untuk berkarier di militer memang tidak sia-sia. Kariernya dalam waktu singkat meroket. Pada tahun 1940, Nasution naik pangkat menjadi Kopral. Tiga bulan kemudian menjadi sersan.

Ketika Jepang menyerbu Hindia Belanda CORO tutup, kadernya langsung diangkat menjadi vaandrig (pembantu letnan calon perwira). Nasution ditempatkan di Batolion III Infanteri di Surabaya. Kompinya ditugaskan mempertahankan pelabuhan Tanjung Perak bila diserbu Jepang. Terjadi pertempuran hebat. Nasution jengkel melihat tentara Belanda yang desersi, takut melawan Jepang. Ia akhirnya memutuskan balik ke Bandung, naik sepeda.

Ketika Jepang membentuk PETA dan Heiho, Nasution ikut membantu. Ia memang tak pernah menjadi personil PETA, namun ketika PETA membentuk Badan Pembantu Perajurit Priangan (BPP), Nasution ditunjuk menjadi pengurusnya.

Pada tanggal 22 Agustus 1945 KNIP membentuk BKR. Tugas awalnya untuk menjaga keamanan dalam negeri saja. Bekas PETA, Heiho dan laskar rakyat ditampung.
Tanggal 5 Oktober 1945, BKR diubah menjadi TKR. Nasution ditunjuk jadi Panglima Divisi III TKR yang membawahi seluruh Priangan.

Pada bulan Januari 1946, TKR diubah menjadi TRI. Nasution tetap memimpin Divisi III. Tak lama kemudian Bung Karno mengubah lagi TRI menjadi TNI. Dan pertempuran-pertempuran dengan tentara sekutu pecah dimana-mana. Karier Nasution di bidang militer diuji. Ia berhasil lolos dari semua ujian berat.

Jenderal Urip Sumohardjo mantan perwira KNIL diangkat menjadi Kepala Staf Komandan TKR. Di Jawa Barat penyusunan TKR diserahkan kepada Didi Kartasasmita. Nasution diminta jadi pembantu Didi dan diangkat menjadi Kepala Staf Komandemen TKR Jawa Barat yang bermarkas di Tasikmalaya.

Sebagai Kepala Staf, Nasution diserahi tugas tugas-tugas yang cukup berat dan beragam, mulai dari menyusunan staf, pembentukan Divisi, menertibkan laskar liar. Tindakannya membuat banyak pihak tidak senang kepadanya.

Ide lainnya adalah menjalankan siasat bumi hangus, memobilisasi dan merasionalisasi pasukan, reorganisasi dan rekonsiliasi, pemerintahan sipil di tingkat desa dan kecamatan diaktifkan. Dan menyebarkan kantong-kantong gerilya. Membuat instruksi-instruksi melawan Belanda.

Dalam melaksanakan ide-ide tersebut dia menggunakan sejumlah referensi (Ia memang terkenal sebagai “kutu buku”, antara lain The Red Army dan Wingate, yang selalu dibawanya kemana-mana.

Atas prestasinya itu dia diangkat menjadi Wakil Panglima Besar, berdasarkan Penpres Nomor 9 tanggal 17 Pebruari 1948. Atasannya adalah Jenderal Soedirman. Umurnya waktu itu baru 30 tahun.

Buah pikir selanjutnya antara lain, “melawan inflasi pangkat”. Juga memperbaiki tanda pangkat dari leher ke pundak. Ide-idenya itu mendapat sokongan penuh dari rekannya Mayor Jenderal Purbonegoro.

Setahun sesudah diangkat menjadi wakil Panglima Besar, Nasution yang banyak dipengaruhi pemikiran tokoh militer klasik Jerman, Karl von Clausewitz itu, diangkat menjadi Kepala Staf TNI AD (KSAD). Nasution mendapat pangkat jenderal dengan empat bintang di pundaknya ketika usianya baru menginjak 40 tahun pada 1958.
Nasution pernah menjabat sebagai Panglima Siliwangi (146-1948), KSAD (1949-1952 dan 1956-1963), Menko Hankam/KASAB (63-66), Ketua MPRS (66-72). Di jabatan terakhir itulah ia melantik Jenderal Soeharto sebagai Presiden RI pada tahun 1968.

Semasa “menganggur “itu, antara 1952-1965, Nasution banyak menuliskan berbagai buah pikirannya. Antara lain mengenai postur kekuatan Angkatan Darat yang memadai untuk pertahanan negara serta komposisi yang cocok untuk penyelenggaraan sistem perang teritorial. Berbagai pemikiran itu dimuat dalam surat kabar ibukota dan mendapat perhatian luas, termasuk oleh Presiden Seokarno.

Sementara itu, di jajaran “atas” Angkatan Darat terjadi perubahan. Panglima Komando Tentara dan Teritorium V Brawijaya—pengganti Bambang Sugeng yang telah menjadi KSAD—yaitu Kolonel Sudirman, yang termasuk penentang keras Peristiwa 17 Oktober 1952, rupanya menilai Nasution masih pantas mendapat kepercayaan dan “yang paling layak memimpin AD.” Pada bulan September 1955, justru Kolonel Sudirman bersama sejumlah Panglima Tentara dan Teritorium lainnya yang mengusulkan kepada Presiden untuk kembali mengangkat Pas menjadi KSAD.

Pada tanggal 1 Nopember 1955, Pak Nas dilantik menjadi KSAD untuk kedua kali oleh Presiden Soekarno, dengan pangkat Mayor Jenderal. Pelantikan diselenggarakan di Lapangan Banteng, Jakarta. Sebelum mengatakan kesediannya untuk diangkat kembali menjadi KSAD, Nasution mengajukan syarat kepada Presiden Soekarno, yaitu mencalonkan Kolonel Gatot Subroto sebagai Wakil KSAD dan Bung Karno menyetujuinya.

Pada tahun 1956, dalam kendudukannya sebagai KSAD, Nasution menuangkan pikirannya dalam suatu brosur terbitan Pusat Penerangan Angkatan Darat. Ia menulis, demi persatuan dan kesatuan bangsa dan terpeliharanya NKRI, jalan terbaik adalah kembali ke UUD 1945.
Maraklah berbagai gerakan di daerah. Seperti Dewan Banteng di Sumatera Barat, Dewan Gajah di Sumatera Utara, Dewan Garuda di Sumatera Selatan, dan PARMESTA di Sulawesi Selatan dan Utara. Semoga gerakan tersebut merupakan koreksi terhadap pemerintah pusat, akhirnya berubah menjadi gerakan separatis. Setelah berbagai pendekatan tidak berhasil, maka diberlakukanlah SOB (darurat perang) di wilayah bergolak tersebut. operasi militer pun diluncurkan secara besar-besaran. Dan berhasil.

Sementara itu, sidang Konstituante di Bandung macet total. Golongan nasionalis dan komunis tak mau lagi bersidang. Melihat situasi yang berbahaya tersebut, Nasution memberikan pertimbangan kepada Presiden untuk mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk kembali memakai UUD 1945.

Dengan berbagai peran penting dalam pentas sejarah RI, tak heran kalau Pak Nas seperti menjadi the living legend, seorang tokoh militer yang masih hidup, dan paling berpengaruh sepanjang sejarah RI dan juga ABRI. Ketokohannya itu tercermin dari 33 bintang kehormatan yang diperolehnya dari Pemerintah RI dan pemerintah negara lainnya. Ia juga memperoleh 3 gelar kehormatan dari berbagai universitas, seperti Universitas Padjajaran, Universitas Andalas, dan Universitas Sumatera Utara. Ia juga telah menerbitkan 22 judul buku, serta ratusan tulisan dan makalah. Dan puncaknya dari semua penghargaan itu adalah sebah bintang lima yang disematkan oleh Presiden Soeharto pada tahun 1997.
Sukar mencari tokoh dengan deretan penghargaan sebanyak Nasution.

Berkas:General soeharto1968.jpg
Berkas:General soeharto1968.jpg

JENDERAL BESAR SOEHARTO

Soeharto dilahirkan pada tanggal 8 Juni 1921, di Desa Kemusuk, Argomulyo, Godean, sebelah barat kota Yogyakarta.

Pendidikan umumnya dimulai di Sekolah Ongko Loro (sekolah dua tahun) di kampung halamannya. Di tempat tinggal bibinya, ia sekolah lagi, dan berhasil menyelesaikan pendidikannya di sekolah Rakyat (SD). Kemudian menamatkan Sekolah Lanjutan pada perguruan Muhammadiyah di Yogyakarta. Selepas menamatkan sekolah itu Ia sempat bekerja di sebuah Bank Desa, kemudian masuk KNIL dan lulus dengan pangkat sersan.

Setelah Jepang berkuasa di Indonesia mereka merekrut pemuda Indonesia untuk dijadikan tentara agar dapat membantu perang yang sedang dihadapinya. Untuk itu dibentuk Seinendan (tenaga keamanan daerah). Soeharto ingin mendaftar menjadi anggota polisi, Keiboho. Tetapi teman-temannya yang lain mengajaknya masuk PETA. Pada tahun 1943 ia menjadi Shodanco (komandan pleton), setelah mengikuti pendidikan perwira, segera dinaikkan pangkatnya menjadi Chudanco (komandan kompi) pada tahun 1944.

Setelah merdeka bekas anggota PETA dan Heiho direkrut menjadi anggota BKR. Soeharto terpanggil untuk membela bangsa, ikut pertemuan bekas anggota PETA dan Heiho yang dilaksanakan di Yogyakarta. Mereka sepakat membentuk BKR di Yogyakarta.
Soeharto membentuk pasukan setingkat kompi di Sentul. Karena berbagai prestasi dalam melawan jepang, kompinya menjadi kuat dan disegani.

Tanggal 5 Oktober 1945 pemerintah mengumumkan pembentukan TKR dan menunjuk bekas Mayor KNIL Urip Sumohardjo sebagai Kepala Staf Umum dengan pangkat Mayor jenderal.

Di Yogyakarta segera dibentuk Divisi IX di bawah pimpinan Jenderal Mayor Sudarsono. Pasukan Soeharto disermikan masuk kedalam Batalyon 10 dengan komandan Mayor Soeharto. Setelah mengikuti berbagai pertempuran pangkatnya dinaikkan menjadi Letnan Kolonel.

Soeharto ikut menghadapi pemberontakan PKI 1948 di Madiun, agresi Belanda II tanggal 19 Desember 1948, Serangan Umum 1 maret 1949, penumpasan pemberontakan Andi Azis di sulsel 1950, penumpasan pemberontakan DI/TII dan Batalyon 426 di Jawa Tengah 1951.

Atas sejumlah prestasinya itu pada tahun 1956 dia diangkat menjadi Panglima TT IV dan pangkatnya dinaikkan menjadi Kolonel.

Brigadir Jenderal disandangnya berkat keberhasilannnya sebagai Panglima Mandala 1962 yang bertugas merebut Irian Barat (Irian Jaya sekarang).

Sesudah itu ia menjabat Pangkostrad 1963. Ketika ia diangkat menjadi Panglima KOGAM 1966, pangkatnya dinaikkan lagi menjadi Letnan Jenderal.

Pangkat Jenderal penuh diperolehnya pada tahun 1966, setelah Sidang Umum IV MPRS menetapkan pembentukan Kabinet Ampera dan ia ditunjuk sebagai Ketua Presidium merangkat sebagai Menteri Utama Hankam.

Catatan penutup

Setelah rezim Orde Baru runtuh, muncul sejumlah kontroversi terutama kepada Soeharto. Itu misalnya dapat kita baca pada buku Seabad Kontroversi Sejarah, karya Asvi Warman Adam, yang antara lain mengulas peran Soeharto dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, Gerakan 30 September, dan sebagainya. Sejumlah kontroversi tersebut dinilai sejumlah pihak dapat “menodai” kariernya yang cemerlang di bidang militer.

Penulis tak mau masuk terlalu jauh pada persoalan kontroversi tersebut. Biarlah yang lain saja yang mengulasnya. Sangat sulit bagi penulis menilai persoalan masa lampau dari sudut pandang masa kini.

Sepanjang pengetahuan penulis, ketiga Jenderal tersebut kait mengait satu dengan lainnya dan tidak pernah menonjolkan diri dan perannya; dan merendahkannya yang lain. Mereka pasti sadar keberhasilan dalam operasi militer tak lepas dari kerjasama unsur-unsur terkait. Patut diduga ada pihak-pihak tertentu yang berusaha menonjolkan suatu figur dan terkesan merendahkan figur yang lain. Juga terkesan ada pihak-pihak yang ingin membenturkan Soeharto dengan Nasution.

Terlepas dari kekurangannya, sosok tiga jenderal Besar yang kita bicarakan ini memang benar dan terbukti telah menyumbangkan tenaga, pikiran dan kiranya juga harta benda untuk membela bangsa dan negara yang sangat dicintainya.

Dengan membaca kisah-kisah mereka, sedikit banyak akan ada manfaat yang dapat yang diperoleh oleh gererasi sesudahnya. Semoga.

Bahan-bahan:
1. Pusat Data dan Analisa Tempo (PDAT), Jenderal Tanpa Pasukan Politisi Tanpa Partai. Perjalanan Hidup A.H. Nasution, Grafitipers, Cetakan Pertama, 1998, Jakarta;
2. Soeharto Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, Otobiografi, G Dwipayana dan Ramadhan K.H, Terbitan PT. Citra Kharisma Bunda, Cetakan Kedelapan, 2008;
3. O.G.Roeder, Anak Desa Biografi Presiden Soeharto, Gunung Agung, Jakarta, 1976.
4. Abdul Gafur, Siti Hartinah Seharto Ibu Utama Indonesia, Penerbit PT. Citra Lamtoro Gung Persada, Jakarta, 1996, Cetakan Kesembilan;
5. Bakri A.G. Tianlean, Suka duka 28 tahun mengabdi bersama Jenderal Besar AH Nasution, Penerbit republika, cetkana 1, Jakarta, 2010.
6. David Jenkins, Soeharto dan Barisan Jenderal Orba Rezim Militer Indonesia 1975-1983, Komunitas Bambu, Jakarat, Cetakan Pertama, 2010.
7. karya Asvi Warman Adam, Seabad Kontroversi Sejarah, Ombak, Yogyakarta,Cetakan Pertama, 2007;
8. Jenderal Spoor, Penerbit Buku Kompas, Cetakan Pertama, Jakarta, 2015
9. Majalah Suara Muhammadiyah No. 15 tanggal 1-15 Agustus 2015

10. https://id.wikipedia.org/wiki/Jenderal_Besar

Poto-poto: Wikipedia.

 

 

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun