Indonesia kaya dengan nila-nilai luhur, bentuk dan jumlahnya tiada terkira. Olehpendiri bangsa kita (the founding fathers) nilai-nilai yang terserak-serak itu dikumpulkan, saripatinya dimasukkan ke dalam konstritusi negara kita, UUD 1945 serta sila-sila dalam Pancasila.
Konstritusi itu berisi cita-cita dan harapan bangsa Indonesia. Semua peraturan perundang-undangan yang dibuat dan tata cara hidup bernegara seyogyanya mencerminkan nilai-nilai dasar tersebut. Begitu juga dalam menjalankan roda pemerintahan, rezim yang berkuasa harus bersandar pada nilai-nilai dasar konstitusi tersebut. Bertentangan dengan konstitusi berarti makar kepada negara. Dan itu ada sanksi hukumnya.
Dalam perjalanan waktu lahir banyak peraturan perundang-undangan. Setelah diuji ke Mahkamah Konstusi ternyata banyak yang bertentangan dengan konstitusi. Akibatnya undang-undang tersebut dibatalkan. Salah satunya Undang-undang tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam yang banyak menguntungkan perusahaan asing.
Untung ada orang/lembaga yang peduli dan mengawal sebuah undang-undang. Kalau tidak akan berapa banyak peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan konstritusi tersebut. Yang jadi korban pada akhirnya rakyat kecil juga. Yang untung segelintir orang, seperti pemilik modal, oknum aparat, calo, dan sebagainya.
Dalam lingkup yang terkecil pelaksanaan upacara bendera di sekolah dan instansi pemerintah setiap hari Senin atau hari tertentun lainnya, antara lain juga bertujuan mengawal konstitusi itu.
Sekarang, kalaupun masih ada upacara tetapi intensitasnya sudah berkurang. Banyak upacara yang tidak lagi membacakan UUD 1945 dan Pancasila. Entah karena hal itu atau persoalan lain, konon, ada pejabat yang tak hapal lagi dengan UUD 1945 dan Pancasila.
***
Waktu berganti, musim bertukar. Rezim yang berkuasa datang-pergi silih berganti. Masing-masing membawa visi-misi-program-kegiatan. Harus berbeda dengan pemerintah sebelumnya. Kalau tak berbeda dianggap tak punya konsep. Dalam visi-misi-program-kegiatan itu kurang mengakomodir nilai-nilai luhur yang terdapat dalam konstitusi kita. Yang banyak malah konsep pemikiran Barat. Termasuk dalam perencanaan pembangunan negara kita. Dikemudian hari banyak perencanaan itu yang gagal karena tidak sesuai dengan kondisi Indonesia. Gagal pula meningkatkan kesejahteraan rakyat banyak.
Ada pendapat yang mengatakan bila bangsa Indonesia mau maju, harus melakukan Modernisasi dalam pengertian Westernisasi.
Akibatnya bangsa Indonesia mulai tercerabut dari akar budayanya. Dan menjadi pangsa pasar negara Barat/Maju.
Negara Barat dan antek-anteknya berusaha terus agar Indonesia tetap dan semakin tergantung kepada Barat dalam berbagai hal. Ketergantungan itu nyata. Salah satu indikator yang dapat kita gunakan adalah apa saja menimpa negara Barat pasti berimbas kepada negara kita. Misalnya, bila Bank di AS menaik-turunkan suku-bunganya, maka berpengaruh kepada ekonomi negara kita.
Sementara itu di sisi lain warga-masyarakat yang masih berpegang teguh pada nilai-nilai luhur yang hidup dan berkembang oleh sebagian masyarakat dianggap terbelakang.
Benteng terakhir ada di tingkat desa/komunitas. Tetapi secara perlahan mereka juga kena dampak negatif dari “Modernisasi” tersebut. Panah beracun penggiat modenisasi akan diarahkanke dada kaum mudanya. Yang tua-tua akhirnya tak berdaya juga “melawan” karena telah kena penyakit “komplikasi”.
Semakin lama semakin tergerus nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang terdapat dalam konstitusi kita tersebut, antara lain sebagai berikut:
Sosial-budaya.
Di bidang sosial-budaya, kita merasakan melunturnya rasa kekeluargaan, tenggang rasa, gotong royong dan sebagainya.
Parahnya lagi itu juga dipraktekkan para “elit”, baik dengan sesamanya, maupun ketika berhubungan dengan kalangan yang “derajatnya” di bawah mereka. Seharusnya elit itulah yang mesti memberikan coontoh dan teladan kepada masyarakat.
Semangat gotong royong dalam melaksanakan berbagai pekerjaan perlahan-lahan mulai digantikan dengan sistem upah. Gotong royong bukan semata-mata ditujukan untuk mengurangi biaya dalam mengerjakan sebuah pekerjaan tetapi yang terlebih penting adalah sarana merajut silaturrahim, memupuk nilai-nilai kebersamaan dan meningkatkan rasa persaudaraan baik sesama warga, antar warga, maupun kampung.
Memudarnya semangat gotong royong juga tak terlepas pengaruh ekonomi kapitalis yang selalu menghubungkan waktu dan kerja dengan hasil (uang) yang akan di dapat seseorang. Karea itulah di sebagian masyarakat setiap akan melakukan even—misalnya untuk acara tujuhbelasan—dibuat proposal untuk meminta sumbangan ke berbagai pihak. Biasanya proposal itu dibuat anak-anak muda yang terinspirasi di tempat lain. Di situ dijelaskan semua pekerjaan, lengkap dengan biayanya, termasuk upah tukang. Kalau gotong dilaksanakan biaya tukang bisa ditiadakan, dan biaya lainnya bisa pula ditekan. Tetapi orang semakin tertarik membuat proposal karena sedikit-banyaknya mereka mendapat bagian juga.
Selain itu juga dipengaruhi gaya hidup “modern” yang memang membutuhkan dana yang tidak sedikit. Biasanya gaya hidup seseorang akan berubah seiring dengan perubahan status sosialnya.
Untu memenuhi kebutuhan intertainment itu berbagai cara dilakukan, termasuklah memakai prinsip mengaitkan waktu dan pekerjaan/aktifitas dengan uang.
Pendidikan.
Contoh lainnya dapat di lihat dalam bidang pendidikan. Baik yang menyangkut kurikulum maupun perilaku sebagian Tenaga Pendidik.
Perilaku itu misalnya dapat kita baca di berbagai media massa dan dari mulut ke mulut terkait dengan penerimaan murid/mahasiswa. Desas-desus itu tidak mungkin timbul dengan sendirinya. Ibarat peribahasa “kalau tak ada-berada tak Tempau bersarang rendah”; “Kalau tak ada angin tak lah pohon bergoyang”; “Kalau tak ada api tidak mungkin ada asap”.
Ada pihak menilai tenaga pendidik zaman sekarang lebih banyak menempatkan dirinya sebagai pengajar ketimbang sebagai pendidik.
Akibat perilaku yang tidak senonoh dari oknum Tenaga Pendidik tersebut, yang lain kena juga imbasnya. Martabat mereka dan lembaga pendidikan terasa memudar baik di mata anak didiknya maupun masyarakat.
Dalam skala kecil terjadi, pernah terjadi Guru Keterampilan pada sebuah SD memperbolehkan mengganti pekerjaan tangan dengan barang-barang yang dibeli di toko seperti sapu, ember, vot bunga, dan sebagainya. Praktek itu baru berhenti setelah banyak orang tua/wali murid melaporkan ke pihak-pihak terkait.
Paradoks Politik. Seperti yang kita ketahui semua bentuk negara Indonesia sebagaimana yang termaktub dalam UUD 1945 adalah Negara Kesatuan, dengan sistem pemerintahan presidensial. Tetapi dalam prakteknya, mulai sejak zaman Orde Lama, Orde Baru, sampai sekarang tidak sepenuhnya mencerminkan yang diamanahkan konstriusi tersebut.
Apalagi sejak runtuhnya rezim Orde Baru, tahun 1998, berbagai peraturan perundang-undangan semakin jauh dari semangat kesatuan itu. Alih-alih semangat persatuan, yang terjadi justri semangat kedaerahan (otonomi). Dalam sistem negara kesatuan hanya mengenal pelimpahan wewenang dari kepala daerah kepada kepala pemerintahan di bawahnya (gubernur/bupati/walikota), bukan otonomi, apalagi otonomi yang seluas-luasnya.
Tampaknya pembuat undang-undang pasca lengsernya Orde Baru hanya berfikiran sesaat: yang penting pemerintahan yang berkuasa tidak lagi mempraktiknya seperti pemerintahan sebelumnya.
Sejak semula, dalam finalisasi pembentukan negara Soekarno-Hatta telah berbeda pendapat. Soekarno ingin negara kesatuan, terinspirasi oleh kesuksesan kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, yang wilayahnya melampau luas negara kita saat ini. Hatta, sebaliknya, menginginkan negara federal, dengan pertimbangan objektif, dimana waktu itu diberbagai wilayah di Indonesia masih ada kekuasaan penguasa lokal. Hatta berpendapat, dengan bentuk negara federal setiap wilayah dapat berkembang sesuai dengan karakteristik dan potensi masing-masing daerah. Soekarno tidak mau dengan alasan akan banyak menimbulkan konflik kepentingan.
Bila dikaitkan dengan konteks sekarang,pemikiran Hatta banyak dijalankan, antara lain tercermin dari berbagai peraturan perundang-undangan yang bersifat federalis, walau dibingkai dalam wadah NKRI. Itu bisa kita lihat dari UU yang mengatur pemerintahan NAD, Jogjakarta, dan Papua.
Ekonomi.
Dalam bidang ekonomi kita juga telah melenceng dari pasal-pasal yang terdapat dalam Pancasila yang mengatur tentang ekonomi di Indonesia. Pancasila mengatakan perekoniman Indonesia disusun berdasarkan asas kekeluargaan. Selain itu disebutkan juga cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat banya.
Kenyataannya sekarang bumi, hutan, air, minyak, gas, dikuasi kelompok tertentu saja, termasuk dari luar negeri. Hasil yang diperoleh negara tidak seimbang dengan kemudharatan akibat ekspolitasi alam Indonesia.
Kekayaan alam yang melimpah, jumlah penduduk yang banyak, dan luasnya negara kita, tidak bisa menjadi modal sosial dalam mewujudkan tujuan pembentukan negara kita: memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Hukum.
Agaknya sudah bosan kita mendengar carut-marut di bidang hukum ini. Rasanya tak ada hari yang terlewat tanpa pemberitaan hukum di media massa. Sepanjang yang kita saksikan yang membuat masalah tersebut justru orang-orang yang mestinya memberikan keteladanan kepada masyarakat. Ada yang terkena jerat hukum karena memang ada niat dan kesempatan, berusaha mencari celah, dan ada juga karena ketidaktahuan.
Agama.
Indonesia memang tidak negara agama—dalam arti mendasarkan pada agama tertentu—tetapi tidak pula negara sekuler.
Untuk itu peran negara masih diperlukan dalam mewujudkan keharmonisan baik antarpemeluk seagama, antaragama, maupun hubungan keduanya dengan pemerintah.
Beberapa kasus yang melibatkan pemeluk antaragama, tidak mencerminkan sikap resmi seluruh pemeluk suatu agama. Karena itu kurang bijak bila perilaku individu/kelompok dalam suatu agama disamakan dengan ajaran sebuah agama. Dalam kerangka ini sebaiknya dipakai ungkapan: ibarat durian, bila ada seruang yang busuk, yang busuk itu saja yang dibuang, yang baiknya jangan dicampakkan.
Setiap agama—apapun agamanya—punya semacam sekte/aliran. Lahirnya sekte/aliran tersebut tak lepas dari dinamika yang hidup dan berkembang pada pemeluk agama dalam rangka mengaktualisasikan ajaran agamanya. Salah-benarnya keputusan yang mereka ambil tentu sulit dinilai dari kacamata pemeluk agama lain.
Sekali lagi, di sinilah diperlukannya peran negara untuk meminimalisir hal-hal yang dapat merusak keutuhan bangsa dan negara kita—yang dibangun pendahulu kita dengan susah payah, mengorbankan jiwa-raga, harta-benda yang tak terkira.
Hak Asasi Manusia
Terkait dengan Hak Asasi Manusia (HAM) konstitusi kita telah memberikan ruang yang sangat memadai. Muatannya lebih luas daripada HAM versi Barat. Tak dapat dipungkiri isi HAM versi Barat itu banyak dipengaruhi ajaran Kristen dan pikiran rasional-liberal. Sedangkan nilai-nilai luhur HAM yang tercantum dalam Konstitusi kita bersandar nilai-nilai luhur yang hidup dan berkembang di negara kita—termasuk ajaran agama-agama yang ada di Indonesia.
Latar belakang kelahiran HAM hampir sama dengan dengan latar belakang lahirnya paham Sekular (Sekularisme) di Eropa, yang berjalin-berkelindan konflik gereja - masyarakat, dimana waktu itu otoritas gereja dinilai sangat otoriter, tidak memberikan ruang kepada umatnya untuk berbeda pendapat dengan gereja. Itu dapat misalnya kita baca pada kasus yang menimpa Copernicus, Galileo, Martin Luther, dan sebagainya.
Sekarang orang dengan mudah mengaitkan segala sesuatu dengan HAM. Ada kesan HAM dijadikan alat politik, untuk kepentingan tertentu. Negara Barat selalu mengaitkan pemberian bantuannya kepada suatu negara dengan isu-isu HAM yang berkembang di negara tersebut. Dalam konteks bantuan, pikiran tersebut jelas tidak nyambung.
Maka tepat apa yang dikatakan oleh Dr. Mohammad Natsir puluhan tahun lalu bahwa konsep HAM versi barat itu masih abu-abu, bisa meluas kemana saja, sesuai dengan kepentingan. Konsep itu mereka paksakan untuk diterima negara lain di dunia.
Akibat penerapan HAM yag salah kaprah itu sudah jamak kita dengar aparatur (terutama TNI/Polri) di negara kita yang tidak dapat menjalankan tugas dengan maksimal karena takut dianggap melanggar HAM. Ini terlepas dari kesalahan prosedural yang dilakukan saat bertugas.
Barat sendiri sering kali menerapkan standar ganda dalam melihat HAM. Contohnya penyerbuan tentara Israel pada Kapal Marmara dari Turki yang membawa misi kemanusian. AS dan konco-konconya boleh dikatakan tak beraksi apa-apa. Sebaliknya bila terjadi konflik antara Palestina dengan Israel, maka AS segera pasang badan. Di sisi lain pandangan dunia sudah berubah terhadap Palestina. Banyak negara Barat yang mengakui kemerdekaannya termasuk Vatikan. Mengapa AS tak mengambil sikap yang sama. Negara yang katanya bertugas mengawal pelaksanaan HAM di dunia itu terkesan membiarkan pelanggaran HAM yang terus menerus dilakukan negara Zionis terhadap Palestina.
Relevansinya dengan Revolusi Mental
Di tengah-tengah memudarnya nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, terpancar setitik asa tatkala dalam kampanye pemilihan presiden dulu, Joko Widodo, presiden terpilih, melontarkan gagasan yang intinya ingin kembali menggelorakan nilai-nilai luhur tersebut.
Untuk mewujudkan keinginan tersebut beliau memandang perlu dilakukan Revolusi Mental. Beliau berpendapat timbulnya berbagai permasalahan di Indonsia disebabkan oleh mental manusia Indonesia yang rusak.
Ghabilnya sebuah pemikiran, tentu menimbulkan pro-kontra. Tugas pemerintahan Presiden Joko Widodo sekarang adalah segera merumuskan konsep Revolusi Mentaltersebut, dan didedahkan kepada semua pihak untuk dimintakan masukan sebelum ditetapkan menjadi Keputusan.
Musyawarah/Mufakat Pemilihan Pengurus Partai
Kabar menarik lainnya datang dari Partai. Beberapa waktu yang lalu, Munas PAN telah menghasilkan keputusan penting dalam menghidupkan kembali nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Dimana dalam pemilihan dan penetapan kepengurusan DPD PAN provinsi dan kabupaten/kota diputuskan dengan musyawarah/mufakat. Tidak lagi memakai voting.
Harus kita akui, beberapa dasa warsa belakangan ini, khususnya sejak runtuhnya rezim Orde Baru, terkesan sedikit-demi sedikit kita meninggalkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam UUD 1945 maupun Pancasila, khususnya terkait dengan musyawarah/mufakat. Ditukar dengan pemilihan langsung atau voting.
Sebagai negara, kita telah silau melihat demokrasi yang diterapkan negara Barat. Dari jauh kita memandang dan menilai bahwa semua yang berkilau itu adalah benda mulia. Atau seperti melihat burung-burung yang terbang di angkasa, semuanya terlihat bagus, syahdan setelah mereka hinggap di ranting kayu atau turun ke buana, barulah kita caca-celanya.
Pihak lain mengusulkan agar mengambil jalan tengah (moderat): ambil hal-hal positif dari barat seperti akuntabilitas (bertanggung jawab penuh dengan amanah yang diberikan, tidak melemparkan kesalahan kepada pihak lain, berani mundur bila gagal melaksanakan tugas), menghargai perbedaan, berjiwa besar menerima kekalahan, dan sebagainya.
Semoga bermanfaat.
Salam kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H