“Lelaki yang tidak berani poligami itu kadar ketauhidannya dipertanyakan”, kata Kitaro tiba-tiba memecah keheningan malam itu.
Pernyataan Kitaro ini kontan memancing perdebatan para “mênungso lowo” (manusia kelelawar) – sebutan untuk teman-teman yang hampir tiap malam begadang di base camp KBbW (Komunitas BangbangWetan) dalam rangka mempersiapkan pementasan reportoar “Tikungan Iblis” di Gramedia Expo Surabaya tanggal 19 November 2008 setengah tahun yang lalu.
Kang Kaji yang sedang belajar utak-utêk internet spontan menoleh dengan penuh tanda tanya. Mas Bagus yang sedang liyêr-liyêr melepas penat langsung njênggirat dan tak ingat rasa penatnya. Tak ketingalan Cak Permak ikut-ikutan njênggèlèk dari tidurnya akibat terganggu riuhnya perdebatan malam itu.
“Maksudmu apa Ki, diperjelas rèk kalau ngomong biar tak menimbulkan salah tafsir”, tanya Kang Kaji.
“Ojo ompong ta lah, jangan langsung ditelan tapi dikunyah dulu”, jawab Kitaro merespon Kang Kaji.
“Tak usah dipikir nêmên-nêmên Ji, itu hanya alasan orang yang ingin poligami tapi takut pada istrinya sehingga mencari-cari alasan pembenar untuk meneruskan niatnya itu”, sahut Bagus sambil nyumêt rokok kesukaannya.
“Sampeyan dibujuk-i Kitaro kok mau, dia cuma memancing agar kita mau menjadi teman ngobrolnya”, kata Cak Permak.
Memang pada malam itu hanya Kitaro yang tidak punya “kesibukan”. Cak Permak lagi “sibuk” tidur, Kang Kaji “sibuk” utak-utêk internet, sedang Mas Bagus “sibuk” liyêr-liyêr menikmati rasa penatnya – setelah seharian menyiapkan uborampe persiapan Tikungan Iblis – di shofa sekretariat KBbW yang sebenarnya merupakan sebuah percetakan milik salah satu anggota KBbW.
Semakin lama diskusi nggêdabrus malam itu semakin riuh seolah mau mengalahkan suara mesin cetak yang sedang kêncêng-kêncêng-nya mencetak poster pesanan para caleg.
Ada yang serius dengan mempertanyakan dasar syar’i dari pernyataan Kitaro tersebut; ada yang menanggapi dengan cara plesetan dan ada yang sekedar “njêplak” yang penting ikut berpendapat.
”Coba sampeyan pikir, lelaki yang tidak berani poligami itu rata-rata alasannya apa? Takut istri kan?”, tanya Kitaro yang kemudian dijawabnya sendiri. “Itu artinya mereka lebih takut kepada istri daripada kepada Tuhan. Dan orang yang lebih besar rasa takutnya kepada yang selain Tuhan dibanding rasa takutnya kepada Tuhan berarti ke-tauhid-an orang tersebut perlu dipertanyakan”, lanjut Kitaro memberikan penjelasan yang diluar dugaan ketiga teman nggêdabrusnya.