Mohon tunggu...
Coffeecopy
Coffeecopy Mohon Tunggu... Freelancer - A writer

Write what should be not forgotten

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Virus Ekstremisme yang Menciptakan Revolusi

18 Juni 2020   21:02 Diperbarui: 18 Juni 2020   20:58 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Sebuah opini dari Soffa Ihsan, penulis adalah Marbot di Lembaga Daulat Bangsa (LDB) dan Rumah Daulat Buku

 Wabah bisa membuat ‘revolusi’? Apa iya? Jangan bayangkan dulu seperti revolusi ala Che Guevara, atau revolusi Iran yang merontokkan sistem lama dan membangun sistem baru. Ini wilayah revolusi politik. Tapi revolusi bisa juga menyentuh aspek non politik semisal adanya ‘momentum’ bisa berupa ‘aset baru’ yang terbangun atau—pinjam istilah Karl Mannheim adanya ‘determinasi situasional’ yang meresahkan warsa baru, yaitu perubahan.

Beberapa pagebluk yang tercatat oleh sejarah memiliki dampak revolusioner, ambil contoh skala epidemi yang menghantam Eropa abad pertengahan yaitu ‘maut hitam’ (black death). Wabah ini berdampak pada runtuhnya sistem feodalisme lama, yang mendorong Eropa Barat menuju komersialisasi dan menjadi lebih modern dengan mengembangkan sistem ekonomi berdasar uang kontan.

Saat COVID-19 mendera, kontan ada kebijakan untuk physical distancing dan work from home (WFH). Ramailah dunia medsos dengan berbagai opini dan wejangan. Lewat medsos pula tersingkap solidaritas sosial untuk saling membantu. Seremoni, perayaan untuk meluapkan rasa iba, empati, bantuan bertalu-talu.

Nah, dunia gadget telah melahirkan revolusi, masyarakat semakin terhubung secara dekat karenanya. World is flat, begitu tulis Thomas Friedman, dunia makin mendatar dan mengkerut yang tak terbayang sama sekali sebelum globalisasi yang membawa serta kecanggihan teknologi.

Dan kini, begitu ada semburan COVID-19, revolusi semakin nyata. Masyarakat seperti dicelikkan dengan situasi adanya ‘musuh bersama’ yang bisa memunculkan panik dan ketakutan, namun juga kesiapsiagaan, solidaritas dan kohesivitas sosial.

Kegiatan yang selama ini dilakukan entah itu kemasyarakatan atau keagamaan, sekarang harus ditunda dan dihentikan. Bahkan untuk sebuah ritual wajib keagamaan seperti shalat Jumat perlu berbesar hati ditiadakan demi menghalau COVID-19. Baru kali ini, ada ‘revolusi’ sedemikian menyolok dan menyentuh pada wilayah yang selama ini dianggap ‘sakral’.

Serangan virus corona ini telah mencipta revolusi. Pandangan terhadap teror pun berubah serentak. Teror tak lagi berskala kecil, tapi mereka yang menerjuni dunia teror itu telah semakin canggih. 

Hingga kinipun disaat corona merajai teror, di Batang, Jawa Tengah terdapan penangkapan dan penembakan terhadap 3 terduga teroris. Penangkapan itu menyertakan beberapa bukti 4 dus berisi bahan peledak, paralon, samurai dan beberapa buku keagamaan. Entah apa yang ada di benak terduga teroris ini, apa mau melakukan aksinya di tengah suasana berkabung masyarakat melawan corona.

Sebagaimana pula gegeran munculnya ‘kekhalifahan ISIS’ yang dideklarasi 2014 yang telah mencipta revolusi. Dengan hipnosa yang dibalut keagamaan, banyak negara yang kecolongan warga negaranya datang ke Suriah demi berperang atau hasrat hidup dalam suasana kekhalifahan. 

Paska terbongkarnya kekhalifahan abal-abal ini, banyak negara yang memikul beban oleh kedatangan eks Suriah ke negaranya masing-masing. Pada masyarakat masing-masing negara yang terlimpahi eks Suriah menjadi cemas akan menularnya ‘virus ekstrimisme’ ke masyarakat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun