Diskon atau potongan hukuman yang diberikan pemerintah Joko Widodo kepada I Nyoman Susrama, terpidana kasus pembunuhan wartawan Radar Bali, Gde Bagus Narendra Prabangsa melukai rasa keadilan.
Apapun alasan pemberian remisi itu tak bisa diterima dengan akal sehat.Â
Hukuman seumur hidup yang sudah dijatuhkan pada Susrama dianggap adil, meskipun tak bisa mengembalikan nyawa Prabangsa, dan menutup luka yang dialami oleh keluarga yang ditinggalkan oleh keluarga dan masyarakat pers.
Namun, Keppres nomor 29 tahun 2018 yang ditandatangani Jokowi dan membuat hukuman Susrama dari seumur hidup menjadi 20 tahun justru membuat luka yang hampir mengering itu kembali terbuka.Â
Prabangsa dibunuh keji oleh Susrama dan orang-orang suruhannya pada 2009 karena tulisan-tulisannya soal korupsi di dinas pendidikan Bangli. Mayatnya dibuang ke laut. Bahkan, dalam buku 'jejak berdarah setelah berita' yang diterbitkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Prabangsa masih dalam keadaan hidup ketika dibuang ke laut dengan tubuh penuh luka akibat penganiaayaan.
Pemberian remisi terhadap Susrama jelas menunjukkan Jokowi telah gagal menerjemahkan cita-cita demokrasi dan HAM.Â
Remisi memang hak prerogatif presiden. Tetapi presiden seharusnya tak berlindung di balik formalitas hukum yang kaku. Ketika di meja kerjanya disodorkan daftar penerima remisi, presiden seharusnya mencermatinya, dan tidak asal tanda tangan.
Lagi lagi, Jokowi bersikap amatir dengan menimpakan kesalahan kepada anak buahnya, dan untuk urusan remisi Susrama hanya bilang: Tanya Menkumham.
Penjelasan Menkumham Yasonna yang mengatakan bahwa pembunuhan yang dilakukan Susrama bukanlah kasus kejahatan luar biasa (extraordinary crime) betul. Susrama punya hak mendapatkan remisi sesuai aturan karena berkelakuan baik selama 10 tahun menjalani hukuman, selalu mengikuti program dengan baik, tidak pernah ada cacat. Itu betul.Â
Pemberian remisi Susrama telah melalui prosedur. Mulai dari Lembaga Pemasyarakatan, Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Bali, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, hingga terakhir dirinya. Itu betul.
Tapi, inilah yang disebut: kaku. Pemerintah kaku, hanya berlindung di balik formalitas hukum yang kaku. Di sinilah seharusnya presiden yang memiliki hak istimewa bertindak. Mendengar suara keadilan. Cabut kepres 29 tahun 2018.