- *Eki Wijaya
Sepekan terakhir, jagat media ramai dengan pemberitaan dua keputusan hukum di era pemerintahan Jokowi. Pertama gagalnya Abu Bakar Ba'asyir menghirup udara bebas dan kedua, remisi hukuman terpidana pembunuh wartawan Radar Bali I Nyoman Susrama.
Dua keputusan hukum itu menunjukkan gagalnya pengelolaan manajemen kabinet Jokowi. Soal pembebasan Abu Bakar Ba'asyir misalnya. Selang dua hari setelah Presiden Jokowi mengagendakan pembebasan Ba'asyir, Menkopolhukam Wiranto justru mengoreksinya.
Lucunya lagi, dalam jumpa pers Wiranto mengingatkan agar Presiden tidak grusak-grusuk dalam kasus Ba'asyir. Meminjam kalimat Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fadli Zon: 'masa Menko Polhukam mengoreksi presiden gimana ceritanya gitu? Hingga saat ini, rencana pembebasan Abu Bakar Ba'asyir tak pernah terlaksana.
Masih pekan yang sama, berita lain soal keputusan hukum muncul lagi. Kali ini remisi terhadap terpidana penjara seumur hidup I Nyoman Susrama. Lewat Keputusan Presiden, hukuman terpidana kasus pembunuhan wartawan Radar Bali itu dipotong menjadi 20 tahun.
Kebijakan itu mendapat sorotan dari pegiat pers, salah satunya Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Saat ditanya wartawan soal keputusan tersebut, Jokowi seolah berkelit. "Kalau teknis gitu, tanyakan ke Menkum HAM," tukas Jokowi
Padahal, turunnya remisi terhadap Nyoman Susrama melalui Keputusan Presiden No 29 tahun 2018 tentang Pemberian Remisi Perubahan dari Pidana Penjara Seumur Hidup Menjadi Pidana Sementara yang diteken pada 7 Desember 2018 lalu.
Melihat dua kasus itu, terlihat ketidakkonsistenan Presiden Jokowi dalam menangani sebuah persoalan. Lantas, bagaimana bisa seorang presiden yang mencla-mencle dan inkonsisten dalam mengeluarkan kebijakan, kembali memimpin lagi negeri ini lima tahun ke depan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H