Mohon tunggu...
Ruby Astari
Ruby Astari Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, penerjemah, pengajar Bahasa Inggris dan Indonesia, pembaca, dan pemikir kritis.

"DARI RUANG BENAK NAN RIUH": Untuk menjelaskan perihal penulis yang satu ini, cukup membaca semua tulisannya di sini (dan mungkin juga di tempat lain). Banyak dan beragam, yang pastinya menjelaskan satu hal: Ruang benaknya begitu riuh oleh banyak pemikiran dan perasaan. Ada kalanya mereka tumpang-tindih dan bukan karena dia labil dan irasional. Seringkali daya pikirnya melaju lebih cepat dari tangannya yang menciptakan banyak tulisan. Penulis juga sudah lama menjadi ‘blogger yang kecanduan’. Samai-sampai jejak digital-nya ada di banyak tempat. Selain itu, penulis yang juga pengajar bahasa Inggris paruh-waktu, penerjemah lepas, dan penulis lepas untuk konten situs dapat dipesan jasanya secara khusus di Kontenesia (www.kontenesia.com). Bisa sekalian beramal lagi untuk setiap transaksi (terutama selama bulan Ramadan ini) : http://kontenesia.com/kontenesia-donasi-ramadan/ https://www.facebook.com/kontenesia/posts/287945154884094?__mref=message R.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Tentang Feodalisme Akut dan Mereka yang Mendendam Dalam Diam"

30 April 2016   13:11 Diperbarui: 30 April 2016   14:02 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Enaknya jadi yang 'lebih tua' atau 'dituakan' di Indonesia. Senioritas semacam itu sampai sekarang masih berlaku, lho! Barangkali di negara-negara lain juga sama, meski mungkin dalam skala berbeda. Suka tidak suka, inilah realita yang ada. Yang paling berat mungkin bila pelakunya adalah orang-orang terdekat, mereka yang tercinta, hingga yang wajib dihormati - terutama dalam konteks agama. (Berat juga, ya?)

Apakah saya anti sopan-santun? Tidak juga, selama tidak menjurus ke arah munafik. (Semoga saja tidak, ya.) Baik ke yang lebih tua, seusia, dan bahkan yang lebih muda - saya bisa. Kenapa harus pilih-pilih usia dan kelas sosial, sih? Syukur-syukur bisa jadi teladan, alih-alih menyakitkan. Tidak perlu sampai narsis segala dan merasa yang paling bisa, karena semua orang bisa melakukan hal yang sederhana bila ada keinginan, terutama dalam hal saling menghargai - sekecil apa pun. (Ya, termasuk sekecil apa pun orangnya.)

'Feodalisme akut' selalu jadi masalah saya. Itu, standar ganda gila yang ditentukan berdasarkan usia, pangkat, hingga level senioritas sejenisnya.

Mengapa sepertinya lebih enak menjadi yang 'lebih tua' atau (setidaknya merasa) 'dituakan' di sini? Contohnya, saat mengantri. Jika kebetulan Anda termasuk - maaf - kategori jompo yang sudah tidak bisa berdiri lama-lama, bolehlah minta didahulukan. (Harus malah!) Lain cerita bila Anda masih termasuk orang dewasa yang sehat lahir-batin, tapi diminta mengantri sebentar dengan sabar saja lagaknya sudah kayak mau mati. Tidak hanya orang tua (yang jelas-jelas harus dihormati), anak-anak yang sudah mengantri duluan saja Anda serobot dengan senang hati. Kenapa harus peduli? Mungkin Amda begitu percaya diri, karena mengira bahwa anak kecil takkan berani. Kalau anak itu sampai berani menegur Anda, bisa jadi Anda malah memilih untuk berlagak tuli. (Jangan menangis bila suatu saat memang benar-benar terjadi!) Bisa jadi, Anda mungkin malah balas menghardik: "Diam, anak kecil nggak usah banyak bacot!" atau "Bah, masih kecil udah sok tua, sok ngajarin!"

Idih, beraninya cuma sama anak kecil - atau mungkin sosok-sosok lain yang juga Anda anggap sepi dan tidak penting! Ngomong-ngomong soal sok tua, kenapa pula Anda yang bertingkah sok 'muda' - terutama mengingat bagi Anda, peraturan hanya berlaku bagi yang muda tapi yang juga selalu Anda anggap 'tak tahu aturan'? Halooo, logika Anda lari ke mana? Apa jangan-jangan malah tidak pernah benar-benar ada?

Feodalisme akut jugalah yang membuat saya waktu kecil sempat (dianggap?) cukup 'lancang' saat berbicara begini sama orang tua (dan beberapa orang dewasa lainnya yang waktu itu ikut mendengar) :

"Jadi orang dewasa itu enak, ya? Bisa bebas berkuasa, sesuka-suka mereka. Bisa nyebelin tapi nggak ada yang negur ama marahin. Anak kecil disepelein, mentang-mentang masih anak kecil."

Reaksi mereka? Orang tua (yang syukurnya berpendidikan tinggi dan berpikiran terbuka) hanya berusaha menjelaskan dengan sabar. Yang lain? Kebanyakan hanya tersenyum geli atau tertawa meremehkan, menganggap lucu atau sepi komentar saya. Kalau waktu itu ada yang merasa sedikit tersentil atau tersinggung dengan ucapan saya, paling yang terlintas di benak mereka cuma ini: "Anak kecil udah berani banyak bacot!"

Ya, ya, ya. Anak kecil tahu apa, sih? Begitu pula dengan yang lebih muda. Tak heran, masih banyak orang tua yang tega 'membunuh' cita-cita anak mereka, hanya karena merasa bahwa mereka-lah yang paling tahu segalanya. Tiada dialog dua arah, hanya pemaksaan sepihak. Bahkan, sedihnya suka pakai ditambah dengan ancaman: "Jadi anak jangan suka melawan, durhaka sama orang tua!" Argumen selesai. Sekian.

Hasilnya pasti beragam. Bersyukurlah bila mereka akhirnya mengalah dan menurut saja dengan lapang dada. Yang menurut tapi diam-diam tersiksa juga banyak. Yakin mereka benar-benar bahagia - atau hanya ingin menyenangkan hati Anda saja? Pedulikah Anda bahwa mereka berubah ibarat robot bernyawa, hanya karena dipaksa menjalani rencana hidup Anda bagi mereka tanpa protes atau banyak tanya?

Mungkin, ada juga yang akhirnya sudah tidak tahan lagi berpura-pura. Risikonya? Akan ada rasa saling membenci, namun siapkah Anda kehilangan sisa kesempatan emas untuk benar-benar mengenal mereka - hanya atas nama ego dan harga diri belaka?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun